Page 535 - Mozaik Rupa Agraria
P. 535
“Gangsal minggu Bu. Kados pundi?” Kuswanto menjawab
selama lima minggu.
“Ndang muliha ya, Le. Ibu selak kepengen ketemu. Kumpula
kabeh, iku welingku.” Bu Darmi berpesan agar secepatnya pulang,
ia sangat ingin bertemu dengan anak-anaknya.
“Inggih, Bu. Mangkih kula sesambungan kaliyan keng ragil,
Dhik Kusumo. Punapa wonten wekas malih, Bu?” Kuswanto berjanji
akan menghubungi adik bungsunya, Kusumo. Ia menanyakan
apakah masih ada pesan lain dari ibunya.
“Ora, Le. Ora. Ibu kesel, arep leren.” Bu Darmi menjawab tidak
ada pesan lagi, ia merasa lelah, ia ingin istirahat.
Kerinduan Bu Darmo pada anak-anaknya semakin berat,
tak tertahankan, seiring berat beban pikirannya akibat surat dari
kerajaan. Tanah-tanah itu, hutang-hutang itu, bagaimana ia bisa
kehilangan begitu saja?
“Duh, Gusti. Sinuwun kok kados makaten? Punapa dosa
kawula? Menawi siti kula piyambak, kula taksih saged nampi, Gusti
Kang Murbeng Dumadi. Ananging siti-siti punika sanes paringan
leluhur, menika saking tumbasan kawula. Punapa tegesipun
Raden Ayu Sudarmi Sastrolegowo tanpa rasa ngawula, Duh Gusti
Pengeran. Sinuwun… Kok kados makaten dhawuh Paduka?” Bu
Darmi meratapi nasibnya sebagai abdi kerajaan kepada Tuhan. Dia
kehabisan nalar, mengapa Baginda yang ia puja tega memberikan
perintah begitu rupa? Bu Darmi masih bisa menerima ketika
yang diambil kembali adalah tanah warisan leluhurnya, akan
tetapi kebanyakan tanah yang ia punyai saat ini adalah hasil
keringatnya sendiri, ia tak rela jika harus kehilangan begitu
banyak. Kekecewaan menggerogoti kapatuhannya, tetapi ia tak
sanggup melawan ketakutannya sendiri. Apalah arti menyandang
nama Raden Ayu Sudarmi Abdilegowo bila kehilangan makna
522 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang