Page 537 - Mozaik Rupa Agraria
P. 537
memburuk.” Marni menjelaskan pada Prawiro, kemenakan Bu
Darmi.
“Tamu dari Jogja? Siapa, Ni?”
“Kurang paham, Den Bagus. Priyayi, necis, rapi, dan sepertinya
orang penting karena diantar oleh Pak Lurah sampai halaman.”
“Apa mungkin utusan Sinuwun, ya?”
“Pangapunten, kurang paham, Den Bagus.”
Kusumo datang dari Jakarta. Hampir setiap hari ia menjenguk
ibunya. Keadaan Bu Darmi berangsur membaik. Dokter tak
menemukan penyakit serius, Bu Darmi diizinkan pulang menjalani
perawatan di rumah dengan seorang perawat jaga. Kusumo yang
mengurus semuanya. Ia berjanji akan kembali ke Jakarta setelah
ibunya sehat, sambil terus menghubungi kakak-kakaknya. Mereka
akan menyempatkan pulang pekan depan.
Dalam perawatan seorang tenaga medis dan pengawasan
Kusumo, kesehatan Bu Darmi berangsur pulih, tetapi ia sering
termenung sendiri dan tidak bicara pada siapapun. Ia hanya
mengangguk dan menggeleng ketika ditawari sesuatu oleh Marni,
Kusumo, atau perawatnya. Sesekali ia menggumam, “Kirman,
apuranen aku, Kirman. Aja ngetutke aku, Man.” Bu Darmi
meminta maaf pada mendiang Kirman, memohon Kirman untuk
tak mengikutinya.
Hingga suatu malam, Bu Darmi meratapi lagi nasibnya
sebagai abdi Baginda. “Kawula trimah palastra tinimbang kraman,
Ngerso Dalem; trimah pejah tinimbang gesang nandhang wirang,
Sinuwun,” ucap Bu Darmi sambil bersimpuh dan menyembah
pada entah, ia berkata lebih baik mati daripada memberontak
dan hidup menanggung malu. Bu Darmi juga sering meracaukan
nama mendiang saudara-saudaranya, mendiang orang tuanya,
524 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang