Page 533 - Mozaik Rupa Agraria
P. 533

masih kerabat kerajaan  dan mengemban  tugas  dari  Baginda.
           Tamu itu memohon pamit karena urusannya dirasa cukup.
               “Ing... Inggih monggo, Nak Mas.” Bu Darmi melepas tamunya
           dengan  hati  cemas,  ia  gugup.  Tamu itu  pergi  meninggalkan
           sepucuk surat keramat.

               Bu Darmi  terpuruk lemas. Betapa banyak  tanah  yang ia
           dapatkan dari  membeli dan ganti  pelunasan  hutang  yang  tak
           terbayar. Di lemarinya masih ada setumpuk sertifikat hak milik,
           jaminan dari tanah-tanah yang digadaikan dari dalam dan  luar
           desa. Terbayang semua itu akan sirna.

               “Ni… Marni…” Bu Darmi memanggil pembantunya.

               “Dalem, Den Ayu.” Marni mendekati majikannya.
               “Tulung jupukna tilpon, gek tilpunen anakku Wanto. Aku arep
           kandha.” Bu  Darmi memerintah  Marni mengambilkan  telepon
           dan menghubungi Wanto. Ia hendak bicara dengan anaknya itu.
               “Den Mas Kuswanto, Den  Ayu? Sendika, Den. Punapa  Den
           Ayu ngersakaken unjukan?” Marni memastikan bahwa Kuswanto
           yang  perlu ia hubungi,  serta menanyakan  apakah majikannya
           memerlukan minuman?

               “Ya, sakwise nyambung Wanto, aku gawekna teh anget, Ni.”
           Bu Darmi mengiyakan, ia meminta dibuatkan segelas teh hangat
           setelah telepon  itu tersambung  dengan  Wanto.  Beberapa  saat
           kemudian,

               “Hallo, Le. Kuswanto?”
               “Halo,  sugeng  kepanggih Ibu, Ibu wilujeng?” Kuswanto
           menanyakan keadaan ibunya.

               “Waras, Le. Ibu kangen.” Bu Darmi menjawab ia sehat dan ia
           bilang merindukan anaknya.



           520    Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang
   528   529   530   531   532   533   534   535   536   537   538