Page 517 - Mozaik Rupa Agraria
P. 517
membikin lopis yang bentuknya persis lontong dari ketan,
bagaimana mencipta grontol yang sama sekali beda dari popcorn
dari biji-biji jagung, dan bagaimana meracik juruh dari lelehan
gula merah. Jajanan tradisional itu kau santap nikmat berwadah
pincuk daun pisang—pinggan tradisional itu kini berganti piring
melamine yang beracun, sebagai sendoknya kau pakai lidi untuk
menusuk berbagai kudapan itu, lalu kau kunyah lincah, lalu kau
telan perlahan. Melihatmu makan seperti melihat masa kecilku,
Anakku.
Penjual kudapan itu, Yu Rubinem, penerus mendiang Yu
Sarinah, yang baru satu bulan berjualan, masih saja memberikan
cuma-cuma sepincuk cenil, lopis, dan grontol kesukaanmu
meski kau sudah tak ada di rumah ini. Dia bilang pada ibu
betapa kau lucu dan menggemaskan seakan dia setiap saat
bertemu denganmu, padahal kau telah tinggal dalam kenangan
ibu. Kasihan Yu Rubinem. Sewaktu kau masih ada, dari caranya
memandangimu, ibu tahu Yu Rubinem begitu menyayangimu.
Mungkin kau mengisi kekosongan hatinya yang seharusnya diisi
oleh anaknya. Itu sebabnya, ibu tak memberitahunya bahwa kau
sudah pergi, ibu tak ingin Yu Rubinem yang jauh-jauh menempuh
perjalanan dari desanya menjadi sedih sesampai rumah ini.
Apa kau takut dianggap murid nakal, Nak?
Sesekali, seorang anak perlu nakal, Anakku. Nakal itu wajar
bagi seorang anak seusiamu. Sebab, jika kau tak nakal sekarang,
kau akan nakal di usia dewasa. Kenakalan di usia dewasa itu
merepotkan orang tua, dan tak jarang memalukan. Jangan
seperti ibu, Nak. Ibu jarang menghibur anak kecil di dalam diri
ibu, semakin tua semakin jarang. Kini, ibu lupa bagaimana cara
membuatnya tersenyum dan tertawa.
Lalu, kenapa kau harus resah hanya karena seragam putih
merahmu basah? Kenapa kau harus cemas hanya karena terpaksa
504 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang