Page 183 - Kembali ke Agraria
P. 183
Usep Setiawan
sebagian besar darinya. Mayoritas rakyat terpaksa tunduk pada mi-
noritas yang lainnya. Ketimpangan ini memicu kemiskinan di ka-
langan rakyat, terutama petani di pedesaan. Ketimpangan ini pula
yang memproduksi kecemburuan dan potensi konflik sosial yang
berkepanjangan.
Era reformasi yang telah bergulir tujuh tahun ternyata menyi-
sakan dilema bagi petani. Harapan akan terbitnya tatanan masyara-
kat dan negara yang baru masih tinggal harapan. Jatuhnya Soeharto
(1998) semula dipandang sebagai syarat pokok bagi kelahiran
Indoneisa baru itu, termasuk perubahan kebijakan pertanian ke arah
perbaikan dan peningkatan kualitas hidup petani. Namun, sekali
lagi semua itu sekedar harapan belaka.
Celakanya, dinamika pentas politik Indonesia sepeninggal rezim
Soeharto yang otoriter dan kapitalistik telah menciptakan situasi poli-
tik nasional yang labil karena persaingan politik di tingkat elite yang
tak berkesudahan. Bagi petani, pertikaian elite yang tidak menyentuh
agenda kerakyatan tak ayal membawa dampak: (1) tertundanya
penyelesaian konflik dan ketimpangan agraria warisan masa lalu,
(2) tertundanya peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup, dan
(3) memudarnya kepercayaan petani kepada negara.
Di luar itu semua, terdapat peluang untuk dioptimalkan bagi
percepatan gerakan petani Indonesia. Pertama, terbukanya ruang
politik berupa kebebasan berserikat dan berkumpul serta menyatakan
pendapat setelah lama dibungkam Orde Baru. Kedua, telah mulai
tumbuhnya organisasi tani yang independen dari politik praktis.
Ketiga, menguatnya perhatian dan dukungan kalangan menengah
kota terhadap gerakan petani yang dapat ‘membantu’ mengembang-
kan berbagai kapasitas.
Pengorganisasian
Untuk ke depan, perlu ditemukan agenda stategis gerakan tani
Indonesia. Pilihan untuk menjalankan kerja-kerja pengorganisasian
di kalangan petani kiranya perlu menjadi prioritas. Selama ini, tak
164