Page 180 - Kembali ke Agraria
P. 180
Kembali ke Agraria
duki tanah-tanah yang diidentifikasi sebagai objek landreform.
Konflik sosial di pedesaan pecah. Korban pun berjatuhan, konon
ribuan rakyat tak berdosa menemui ajalnya —jumlah korban peristi-
wa 1960-an hingga kini masih teka-teki.
Akhirnya, belum lima tahun landreform dijalankan (1962-1964),
Soekarno yang sipil-populis itu terguling dan digantikan Soeharto.
Berbeda dengan Soekarno, jenderal Soeharto dikenal sebagai
pemimpin yang militeristik dan kapitalistik.
Tidak heran jika landreform kemudian dikubur oleh Soeharto
dan diatasnya didirikan menara politik agraria pro kapital yang dise-
but “pembangunan”. Sejak Soeharto berkuasa hingga lengser (1966-
1998), reforma agraria praktis terpinggirkan bahkan masuk kategori
“lagu” terlarang untuk didendangkan.
Setelah Soeharto tumbang, Indonesia memasuki era reformasi
dan demokrasi. Pada tahun 2001 negara secara resmi mengakui
(kembali) pentingnya reforma agraria melalui Ketetapan MPR No.IX/
2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.
Setelah Soeharto digantikan Habibie, Wahid, Megawati, dan kini
Yudhoyono, agenda reforma agraria tetap saja tak mendapat perhatian
serius dari pucuk pimpinan negara.
Presiden Yudhoyono menjanjikan reforma agraria, namun tetap
menerbitkan izin usaha bagi puluhan kontrak karya usaha pertam-
bangan besar, hak guna usaha untuk pengusaha perkebunan, dan
hak pengusahaan hutan bagi pengusaha kehutanan. Ia juga tak kun-
jung mengoreksi kebijakan pertanahan yang pro-pasar.
Memetik pelajaran
Ada tiga pelajaran dari pengalaman Peru. Pertama, pelaksanaan
reforma agraria hanya mungkin terjadi jika pucuk pimpinan
pemerintahan berkomitmen tinggi untuk mengakhiri ketidakadilan
agraria. Kedua, muculnya komitmen pemerintah terhadap reforma
agraria akan lebih mantap jika didorong kekuatan gerakan rakyat.
Ketiga, kombinasi kuatnya komitmen pemerintah dengan sokongan
161