Page 218 - Kembali ke Agraria
P. 218
Kembali ke Agraria
Suara Pembaruan, 19 Agustus 2005
Kemerdekaan Bangsa Agraris
ANGGAL 17 Agustus, enam puluh tahun lalu, para pendiri
Trepublik telah menyatakan kemerdekaan bangsa dari segala
bentuk penindasan dan penjajahan. Berbarengan dengan itu, mereka
juga menyadari makna kemerdekaan yang sejati bagi rakyat Indone-
sia yang agraris adalah kembalinya kedaulatan atas tanah dan keka-
yaan alam lainnya.
Mohammad Hatta (1943), memberi masukan kepada “Panitia
Penyelidik Adat Istiadat dan Tata-usaha Lama”, bahwa, “Indonesia di
masa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya
dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi
peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang,
politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata
sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah
faktor produksi yang terutama, maka hendaknya peraturan milik
tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran
bagi rakyat umumnya” (Bachriadi dan Fauzi, 2002). Inilah esensi
cita-cita kemerdekaan.
Bagi pendiri republik, ketidakadilan agraria hanya bisa diakhiri
melalui perombakan struktur agraria—yang kemudian dikenal dengan
pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform atau land-
reform). Pada periode 1960-an Bung Karno kerap mengatakan bahwa
“Landreform adalah bagian mutlak dari revolusi kita” dan “Revolusi
tanpa landreform ibarat membangun gedung tanpa alas”.
199