Page 261 - Kembali ke Agraria
P. 261

Usep Setiawan

            diatur dan dikelola secara nasional...”.
                Sektoralisme kebijakan agraria di dalam tubuh pemerintahan
            sebagai sandungan dalam penyelesaian masalah pertanahan juga
            dieliminir. Kewenangan BPN yang mencakup “nasional”, “regional”,
            dan “sektoral” perlu penjabaran dan kelugasan dalam meletakkan
            sinergi antara kebijakan pertanahan dengan sektor terkait—semisal
            kehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir, dst.
                Mengacu pada pasal 3 Perpres, BPN memiliki 21 fungsi, di anta-
            ranya; melaksanakan reformasi agraria [poin h], pemberdayaan ma-
            syarakat [poin m], dan penanganan konflik pertanahan [poin n]. Keti-
            ga tugas/fungsi ini dapat menjadi pintu masuk bagi pelaksanaan
            agenda penataan ulang struktur agraria sebagai problem pokok
            agraria.
                Struktur BPN pun kini berubah. Di BPN Pusat terdiri dari seorang
            Kepala yang memimpin BPN, Sekretaris Utama sebagai unsur pim-
            pinan, dan Inspektorat Utama sebagai unsur pengawasan, serta lima
            orang deputi—salah satunya adalah Deputi Bidang Pengkajian dan
            Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (sebelumnya tidak
            ada). Adapun struktur BPN di daerah menurut Perpres 10/2006
            meliputi Kantor Wilayah (provinsi) dan Kantor Pertanahan (kabu-
            paten/kota) yang menyelenggarakan tugas dan fungsi BPN di daerah.
            Hal ini menegaskan pilihan struktur organisasi pemerintah di bidang
            pertanahan sekarang adalah bersifat vertikal.
                Struktur vertikal ini hendaknya menyudahi silang pendapat
            mengenai perlu-tidaknya masalah pertanahan didesentralisasikan
            atau diotonomikan. Semangat Perpres ini mengindikasikan urusan
            pertanahan adalah urusan pusat yang dibantu jajarannya di daerah,
            bukan menjadi urusan yang (sepenuhnya) diserahkan kepada
            pemerintahan daerah. Hal terpenting, sentralisasi kebijakan pokok
            pertanahan ini mestilah terkait penataan agraria nasional yang mesti
            dipastikan ada dalam bingkai negara Republik Indonesia yang masih
            menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Sentralisasi untuk perubahan
            ke arah keadilan agraria mestinya lebih pokok ketimbang desentra-


            242
   256   257   258   259   260   261   262   263   264   265   266