Page 266 - Kembali ke Agraria
P. 266
Kembali ke Agraria
Modus operasi HGU semakin melebar dengan keluarnya PP
No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang
bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Begitu banyak
sengketa agraria disebabkan oleh Hak Guna Usaha. Sampai tahun
2001, kasus di areal perkebunan yang sempat terekam berjumlah 344
kasus. Jumlah ini kita bisa bandingkan dengan aksi re-claiming yang
dilakukan petani atau masyarakat adat pascareformasi.
Data yang ditunjukkan oleh Imam Koeswahyono yang diolah
dari data Direktorat Jendral Perkebunan, sampai bulan September
2000, sebanyak 118.830 Ha perkebunan milik negara yang telah di-
re-claiming dengan kerugian sekitar 46,5 miliar rupiah, sedang
perkebunan swasta 48.051 Ha.
Merampas dan menggusur
Tanah-tanah HGU jadi konflik karena sejak penetapannya
diawali dengan manipulasi, dan seringkali dengan cara kekerasan.
Akibatnya, rakyat kehilangan tanah, dan petani tak bertanah atau
berlahan sempit pun semakin meluas. Penetapan lahan untuk areal
HGU juga tidak menguntungkan secara ekonomi. Di era otonomi
daerah, banyak perkebunan yang sama sekali tidak berkontribusi
pada peningkatan PAD, misalnya kasus perkebunan teh PT Pagilaran
di Batang, Jawa Tengah. Pajak hasil dan maupun pajak tanahnya
justru dinikmati pemerintah Yogyakarta.
Begitu pun dari segi ekologi sangat merusak lingkungan, karena
penggunaan pestisida yang tinggi. Jenis tanaman yang berjangka
panjang mengakibatkan kesuburan tanah menjadi hilang. Banyaknya
hutan yang dikonversi menjadi areal HGU telah mengakibatkan keba-
karan (pembakaran?) hutan yang akhir-akhir ini menghebohkan, bah-
kan ekspor asapnya hingga ke negeri jiran. Karena salah satu agenda
penting dari pembaruan agraria adalah penataaan soal penguasaan,
peruntukan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, kami mere-
komendasikan beberapa hal pokok.
Pertama, HGU yang berasal dari tanah ex erfpacht dihapuskan,
247