Page 265 - Kembali ke Agraria
P. 265
Sinar Harapan, 6 September 2006
HGU Perkebunan, Masihkah Relevan?
IDAK lama lagi kita akan merayakan Hari Agraria Nasional
Tyang ke-46 pada 24 September. Di momentum bersejarah tersebut,
penulis bermaksud merefleksi salah satu sumber ketidakadilan agra-
ria di Tanah Air, yakni keberadaan Hak Guna Usaha (HGU) bagi
perkebunan-perkebunan besar.
HGU untuk perkebunan-perkebunan besar mulai dikenal di In-
donesia seiring dengan ditetapkan dalam UU PA No 5/1960. Asal-
muasal hak ini adalah konversi dari hak erfpacht yang dikenal di
Barat dan digunakan pada masa kolonial. Sejarah mencatat bahwa
selama penggunaan hak erfpacht ini, kekayaan atas sumber-sumber
agraria Indonesia tersedot oleh dan untuk kepentingan pengusaha
dan mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi miskin. Karenanya
tidak mengherankan kalau banyak kalangan mengatakan bahwa seba-
gian konflik agraria di Indonesia adalah warisan kolonial. Saya kira
salah satu jejaknya adalah hak erfpacht ini yang dikonversi mejadi
Hak Guna Usaha. Namanya beda, tapi praktiknya sama, yakni mem-
beri jaminan hukum untuk penguasaan tanah skala luas pada pihak
asing.
Dalam perkembangannya, sengketa agraria di tanah-tanah ber-
HGU tidak hanya dari tanah-tanah ex erfpacht yang dikonversi, tetapi
juga HGU yang terbit karena penetapan pemerintah. Hal ini dimung-
kinkan karena politik hukum agraria nasional kita memberi ruang
yang disebut hak menguasai negara.
246