Page 88 - Kembali ke Agraria
P. 88
Kembali ke Agraria
yang didapat dari usaha tani sangat tidak seimbang. Tidak terjang-
kaunya harga-harga saprotan oleh petani menimbulkan pola dan
produk pertanian berkualitas rendah. Pada titik ekstrem, mahalnya
saprotan seperti bibit, pupuk, pestisida, dan alat produksi lain men-
dorong petani untuk bekerja secara asal-asalan. Bahkan pada titik
yang paling ekstrem, karena saprotan tidak terbeli maka petani tidak
lagi mau bekerja di atas tanahnya.
Soal lain yang menjadi masalah pelik berkaitan dengan penye-
diaan saprotan adalah asal datangnya saprotan tersebut. Revolusi
hijau yang menjadi kojo Orde Baru dalam membangun sektor perta-
nian diketahui telah menghasilkan mentalitas petani yang selalu
tergantung pada input dari luar. Ketergantungan ini, selain membu-
ahkan ketidakmandirian petani tetapi juga telah memicu kerusakan
ekosistem lingkungan pertanian (tanah dan tanaman jadi tergantung
pada input luar) dan lenyapnya kearifan lokal (indigenous knowledge)
yang dipandang lebih inklusif dengan dimensi sosio-kultural masya-
rakat petani setempat. Dengan demikian, walaupun dalam setiap
usaha tani yang ideal disyaratkan ketersediaan saprotan yang murah,
namun lebih dari itu kategori saprotan yang selama ini dipatok dari
luar lebih banyak menjerat leher petani dan merusak tanah pertanian.
Masalah lain berhubungan dengan ketersediaan tanah perta-
nian. Berbagai sumber data mengenai pola penguasaan dan peman-
faatan tanah pertanian menunjukkan ketimpangan yang luar biasa.
Ketimpangan ini terjadi baik dari segi penguasaan sesama (keluarga)
petani maupun dari segi pemanfaatan lahan pertanian dengan zona-
pertanian. Secara khusus, dalam hal penguasaan tanah di kalangan
petani, strukturnya mencermin kenyataan bahwa semakin banyak
petani berlahan sempit yang kehilangan tanahnya dengan berbagai
alasan. Tanah pertanian yang sempit—biasanya di bawah 2 hektar—
tentu saja tidak bernilai ekonomis bagi usaha tani. Jangankan untuk
memperoleh surplus, kebutuhan sehari-hari pun tidak bisa dipenuhi
oleh petani dengan tanah sesempit itu. Tidak jarang petani kecil ter-
paksa bekerja sambilan atau malah menjual tanahnya untuk nombokin
69