Page 193 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 193
Kompleks Industri Bekasi:
Masalah Perburuhan dan Aksi-aksi Kaum Buruh 183
Pada beberapa rentetan kasus, serangan balik tersebut terlihat dilakukan secara sistematis dan terkoordinasi. Setidaknya
terdapat lima strategi utama yang muncul dari berbagai bentuk serangan balik tersebut: Pertama, secara terus menerus,
pihak manajemen yang pabriknya mengalami penggerebekan, berturut-turut melakukan pengingkaran PB, yang tidak jarang,
kemudian disusul dengan pemecatan pengurus dan anggota serikat buruh yang terlibat dalam penggerebekan. Alasan yang
digunakan ketika melakukan pengingkaran PB adalah, pihak manajemen berada dalam kondisi terancam dan terpaksa ketika
menandatangi PB tersebut; pengingkaran ini dilakukan perusahaan dengan menyewa kantor pengacara, dimana penyelesai-
an konflik hubungan industrial dipaksa untuk kembali memasuki ruang dan mekanisme legal-formal. Untuk melakukan
20
gugatan balik, serikat buruh harus menempuh jalur pengadilan. Pilihan lainnya adalah melakukan penggerebakan ulang
untuk kedua kalinya; sementara ada serikat buruh yang menerapkan kebijakan grebek pabrik hanya boleh dilakukan satu kali
pada satu pabrik. Alhasil, ketika kesepakatan tersebut dibatalkan, mereka yang telah diangkat menjadi buruh tetap, kembali
menjadi buruh outsourcing dan kontrak. Dan jika mereka menolak keputusan ini, maka akan langsung di-PHK. Dengan
strategi ini, secara telak grebek pabrik menjadi kehilangan efektivitasnya dalam konteks pengangkatan buruh tidak tetap
menjadi tetap.
Kedua, pengusaha juga menjalankan politik adu domba antara serikat buruh melawan masyarakat sekitar. Strategi ini
dijalankan dengan cara menyewa berbagai Ormas, yang kemudian mengatasnamakan dirinya sebagai MBB (Masyarakat
Bekasi Bersatu), yang terdiri dari 8 Kepala Desa di Cikarang, Bekasi. Penyebutan MBB sendiri merupakan simbolisasi dari
pertentangannya dengan BBB (Buruh Bekasi Bergerak), sehingga membuat kesan Masyarakat melawan Buruh menjadi lebih
kuat. MBB, pada tanggal 29 Oktober 2012, melakukan penyerangan dan pengrusakan beberapa tenda pemogokan di depan
21
pabrik dan Saung Buruh yang terletak di Jababeka. Keberadaan 8 Kepala Desa dalam MBB, berkaitan dengan relasi kolusif
perangkat desa-kapital, dan relasi patron-klien antara otoritas lokal desa terhadap perusahaan-perusahaan yang berada di
desa tersebut. Relasi ini merupakan norma umum di wilayah manapun di Indonesia, ketika ekspansi kapital berlangsung.
Ketiga. Pada tahap selanjutnya, Pengusaha mulai menyebarkan teror dan rasa takut di kawasan-kawasan industri. Hal ini
dilakukan dengan melakukan berbagai penyerangan dan kekerasan. Efek penyebaran teror dan rasa takut ini, terlihat secara
khusus dari strategi penganiayaan berantai kepada anggota serikat buruh yang mengenakan atribut serikat (seperti jaket),
dan sedang mengendarai sepeda motor di jalan kawasan industri, biasanya dilakukan ketika malam hari dalam situasi sepi.
Anggota serikat buruh yang dikenali dari atribut serikat yang dikenakan, dan sedang mengendarai motornya kemudian dihen-
tikan paksa, mengalami pengeroyokan, motornya dirusak, dan jaket serikatnya dijarah, bahkan ada yang dibakar dihadapan
korban, sebelum ia kemudian dibiarkan pergi. Ada satu kasus yang dilakukan pada siang hari, dimana seorang yang menge-
nakan baju serikat buruh sedang mengendari sepeda motor, dicegat di tengah jalan dan bajunya dilepas paksa. Sehingga ia
harus berjalan ke rumahnya tanpa mengenakan baju. Tak ada satupun anggota serikat buruh yang meninggal dalam rentetan
aksi balasan ini. Hal ini justru semakin menunjukkan, bahwa serangan balik tersebut memang bertujuan untuk menebar
Gambar 7:
Beberapa spanduk yang dipasang
oleh MPI sebagai salah satu
bentuk intimidasi terhadap buruh.