Page 188 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 188
178 Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
Megaproyek MP3EI Bekerja?
ejar target produksi. Itu membuat jam kerja mereka menjadi sangat panjang, dari jam 07.00 pagi sampai jam 20.00 malam.
Sementara di luar pabrik berlangsung eksploitasi yang lain. Bukan rahasia lagi bahwa, untuk melamar kerja di pabrik, buruh
diperas oleh siapa saja; dari mulai petugas satpam pabrik, aparat desa, dan yayasan outsourcing. Jika mau bekerja mereka
harus menyetorkan uang, besarnya berkisar antara Rp. 300.000 (untuk orang lokal) hingga Rp. 2.200 (untuk bukan orang
Bekasi). Maraknya pelanggaran sebagian disebabkan lemahnya fungsi pengawasan Dinas Tenaga Kerja setempat. Pada
kasus pemberangusan serikat di PT Toppan, studi ini menyaksikan, Oktober 2012, bagaimana petugas Dinas Tenaga Kerja
menyerah begitu saja dengan mudah dan cepat, begitu petugas Satpam PT Toppan melarangnya masuk pabrik untuk mene-
mui managemen perusahaan. Negara bertindak terlalu lemah di hadapan pengusaha.
FKI dan organisasi buruh lainnya menggunakan cara gerebeg pabrik untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran out-
sourcing dan pemberangusan serikat. Pertanyaannya, apakah gerebeg pabrik merupakan bentuk pemberdayaan hukum? Dari
segi penegakkan hukum yuridis formal, gerebeg jelas merupakan tindakan melanggar hukum. Polisi pun mulai menerapkan
penegakkan hukum formal ini untuk menangkal aksi gerebeg pabrik, selain memasang hambatan administratif (keharusan
melampirkan salinan KTP, dst). Pada September 2012, Kepolisian Resort Kota Bekasi menangkap Sulthoni Farras , yang me-
mimpin aksi buruh di PT Dongan Kreasi Indonesia di Cikarang, dan menetapkannya sebagai tersangka. Pasal yang dituduh-
kan adalah perbuatan tidak menyenangkan dan pelanggaran prosedur. (Persatuan Gerakan Serikat Pekerja [Progresip]
menjawabnya dengan melakukan demonstrasi menolak kriminalisasi di depan markas Kapolda Jaya).
Gerebeg pabrik memang kontroversial. Tidak semua organisasi buruh bersetuju dengan tindakan itu. DPC SPSI Bekasi meng-
ecam gerebeg pabrik dan akan menganjurkan mekanisme bipartit dan tripartit yang tersedia. Sebagian serikat buruh
menekankan pendidikan dan penyadaran, dan memandang gerebeg pabrik sebagai semata-mata mobilisasi massa. Yang
lain menilainnya sebagai tindakan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Semua penolakan terhadap gerebeg pabrik di atas
adalah benar dan berdasar. Namun, daripada menilai dan mengkategorikannya dalam konstruksi hukum formal (kriminal
dan bukan kriminal), memahami dinamika sebab-musabab gerebeg pabrik adalah jauh lebih bermanfaat. Seksi tulisan ini
akan mendiskusikan berbagai aspek dari gerebeg pabrik. Gerebeg pabrik jelas merupakan reaksi balik dari kemacetan meka-
nisme penyelesaian perselisihan yang tersedia. Dari arah FKI, gerebeg pabrik justru merupakan suatu tindakan penegakkan
hukum. Negara membiarkan pelanggaran praktek kerja kontrak dan outsourcing terjadi secara meluas (bila tidak bisa dise-
but kejam) dan gagal menghukum pelakunya. Kemacetan terletak pada mekanisme penyelesaian yang dianjurkan. FKI dapat
saja menempuh mekanisme penyelesaian biasa, mereka tidak kekurangan tenaga yang paham hukum perburuhan; namun
mereka memilih tidak melakukannya. Daripada menempuh berbagai mekanisme (bipartit, tripartit, pengadilan industrial)
berbelit-belit serta banyak memakan waktu dan energi; gerebeg pabrik adalah penyelesaian cepat, yang hasilnya bisa dilihat
segera. Hari itu dilakukan gerebeg, tak lama kemudian sudah ada PB yang dihasilkan. Gerebeg pabrik adalah pilihan menye-
lesaikan perselisihan di jalanan, daripada di ruang perundingan yang tersedia. Dari segi ini, gerebeg pabrik merupakan
indikasi dari rendahnya akses terhadap keadilan.
Gerebeg juga mengungkap persoalan-persoalann di dalam serikat buruh mapan, yang berkembang menjadi birokratis, secara
paternalisrik bertindak sebagai pengacara ahli, dan anti partisipasi anggota. Baik gerebeg pabrik maupun FKI (sebagai or-
ganisasi aksi) keduanya lahir dari kegagalan organisasi induknya menanggapi keresahan meluas dari massa besar buruh
yang anggota biasa. Bertolak belakang dengan penyelesaian kasus biasa, yang diwakilkan ke pengurus serikat; pada gerebeg
pabrik, persoalan pabrik dibahas bersama-sama. Buruh yang menjadi korban turut berpartisipasi menyelesaikan masalah-
nya. Bukan semata-mata pesakitan pasif. Meskipun FKI menyebutnya sebagai penegakan hukum, gerebeg pabrik lebih baik
dipandang sebagai tindakan politik, tentang relasi-kuasa; daripada tindakan hukum. Gerebeg pabrik menjawab ketidak-