Page 185 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 185
Kompleks Industri Bekasi:
Masalah Perburuhan dan Aksi-aksi Kaum Buruh 175
penting. Massa aksi gerebeg biasanya datang berbondong-bondong menaiki sepeda motor. Untuk melumpuhkan produksi,
massa menduduki pabrik dan menutup gerbangnya. Massa gerebeg adalah buruh pabrik itu sendiri, yang baru selesai be-
kerja dan buruh giliran kerja berikutnya, ditambah buruh dari pabrik-pabrik di dekatnya. Penentuan waktu adalah penting
untuk mendapatkan jumlah massa yang besar. Buruh yang menggerebeg tidak perlu bekerja di pabrik tersebut. Jadi, pang-
gilan untuk gerebeg pabrik tak lain adalah seruan solidaritas antar pabrik dan antar kawasan. Karena tujuannya memang
untuk berunding dengan managemen/pengusaha, gerebeg terjadi pada saat manager pabrik atau pengusaha sedang berada
di tempat.
Masalah Perburuhan
Ada tiga persoalan utama yang terus-menerus menjadi perhatian FKI dan serikat-serikat buruh lain di Bekasi: praktek kerja
kontrak dan outsourcing, kesejahteraan khusunya upah, dan pemberangusan serikat. Di sekitar tiga butir utama tadi, masih
banyak persoalan lainnya. Pun jika kita menilik kasus-kasus di tingkat pabrik, tiga persoalan ini saling bercampur baur. Ke-
tiga jenis pelanggaran tersebut lazim terjadi secara serempak. Buruh kontrak, dan outsourcing mengalami diskriminasi
upah. Mereka diupah lebih rendah, untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan buruh tetap. Ketika buruh hendak mem-
perjuangkan haknya melalui serikat, perusahaan kemudian melakukan pemberangusan serikat. Berikut uraian pendek dari
tiga persoalan perburuhan tersebut:
Kontrak dan Outsourcing
Seperti diceritakan di atas, buruh melakukan gerebeg karena melihat perusahaan melanggar pasal-pasal dalam Undang-
undang Ketenagakerjaan tentang kerja kontrak dan outsourcing. Buruh sendiri menganggap tindakan gerebeg sebagai suatu
tindakan penegakkan hukum, karena pemerintah, Dinas Tenaga Kerja kabupaten Bekasi, membiarkan pelanggaran tersebut
berlangsung secara masif. Penyelesaian melalui PHI bagi mereka terlalu berbelit-belit dan memakan waktu panjang. Artinya,
meskipun buruh mengabaikan cara-cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang legal dan resmi, mereka tetap
bersandar pada ketentuan dalam Undang-undang Ketenagakerjaan untuk membangun argumentasinya. Melalui gerebeg
pabrik, buruh hendak mengembalikan praktek kerja kontrak dan outsourcing ke relnya. Itu tampak jelas pada PB yang diha-
silkan paska gerebeg. Umumnya PB mencantumkan dua hal. Pertama, menolak outsourcing pada pekerjaan inti. Kedua;
mendesakkan peningkatan status (dari outsourcing ke PKWT, dan dari PKWT menjadi karyawan tetap) bagi buruh yang sudah
bekerja cukup lama dan dikontrak secara berulang-ulang. Kelompok buruh, baik berserikat maupun belum, yang mengadu ke
FKI biasanya datang membawa keluhan seputar dampak dari dua sistem kerja tersebut. Mereka dikontrak terus-menerus
bertahun-tahun, atau menjadi buruh outsourcing pada pekerjaan inti dalam proses produksi; beberapa mereka sekonyong-
konyong diberhentikan tanpa diberi pesangon. Buruh-buruh itu menjumpai bahwa mereka hidup tanpa kepastian kerja. Aki-
bat sistem kerja itu, upah tak kunjung naik, dan kerja bertahun-tahun tak kunjung memperbaiki taraf penghidupan. Berbagai
dampak itulah yang membawa mereka datang ke mabes FKI.
Studi kasus ini mengkonfirmasi temuan-temuan berbagai penelitian sebelumnya tentang dampak kerja kontrak dan
12
outsourcing. Karena itu, seksi tulisan ini tidak akan banyak mengulang tentang dampak sistem kerja tersebut terhadap
buruh dan serikat buruh, melainkan mencatat hal khusus yang terjadi di Bekasi. Kerja kontrak dan outsourcing dipraktekkan
dimana-mana. Namun ketika hubungan kerja ini dipraktekkan secara luas di wilayah padat industri seperti Bekasi, hal yang
kemudian tampak adalah besaran dampak, besaran perlawanan gerakan buruh terhadapnya, dan kemudian besarnya upaya
yang ditempuh untuk memadamkan perlawanan buruh. Menyangkut besaran dampak ada dua hal yang layak dicatat.