Page 201 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 201
Relasi Kuasa Pertambangan Mangan 191
di Nusa Tenggara Timur
Studi ini juga hendak melihat proses-proses perubahan kawasan sosial-ekologi menyejarah pada masyarakat pedesaan di
Timor Barat yang terekspos oleh perdagangan global dari masa ke masa, terutama sekali pada pembentukan relasi kuasa di
babak ekstraksi mangan dalam 5 tahun terakhir. Secara khusus, modifikasi relasi kuasa diobservasi pada penguasaan lahan
dan pengambilan keputusan atas lahan maupun transformasi nilai yang diakibatkan oleh industri ekstraktif. Lebih lanjut,
observasi atas perubahan-perubahan relasi kuasa juga akan meninjau letupan-letupan konflik atas lahan dan bagai-mana
resolusi-resolusi yang terjadi membentuk struktur kuasa dan pembaharuan pembagian kerja dalam komunitas-komunitas
yang terekspos oleh usaha tambang.
Untuk menjawab hal-hal di atas tentu saja hanya bisa dilakukan dengan melihat kembali sistem pengelolaan lansekap orang
Timor secara utuh sisi struktur penguasaan lahan tradisional, relasi-relasi kerabat, produksi dan kuasa yang masih berlaku
hingga saat ini. Secara khusus, cakupan wilayah penelitian adalah Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Timor
Tengah Selatan yang memiliki kesamaan laras bahasa yaitu bahasa Meto (Uab Meto). Selain kesamaan laras bahasa, model
penguasaan wilayah pada dua kabupaten ini memiliki kemiripan-kemiripan akibat proses kesejarahan selama berabad-
abad.
Proses studi dilakukan dengan menginterpretasi kembali laporan-laporan kasus-kasus tambang yang dilakukan oleh Institute
of Economic and Social Rights, Yayasan Amnaut Bife Kuan, Wahana Lingkungan Hidup Eksekutif Daerah Nusa Tenggara
Timur, dan catatan pribadi sejak tahun 2000. Selain itu, untuk mengkonfirmasi kembali informasi, saya melakukan perja-
lanan dan mewawancarai tokoh-tokoh adat di Desa Naip dan Supul di Kabupaten Timor Tengah Selatan, para tua adat klan
Usatnesi di Desa Oekopa Timor Tengah Utara, warga Desa Bakitolas di kabupaten Timor Tengah Utara, dan pengumpul
mangan di Biboki Utara.
Menurut saya, penelusuran dan mendapatkan persepsi dari tua-tua adat di berbagai wilayah adalah hal yang penting untuk
mengkonfirmasi alasan-alasan penerimaan maupun penolakan mereka terhadap operasi tambang. Secara sengaja saya
tidak melakukan investigasi mendalam dari perspektif penambang artisanal atau warga biasa. Penelitian dan laporan serta
catatan lapangan dari warga biasa sudah saya anggap cukup. Tetapi perspektif tua-tua adat dan warga yang berpengaruhlah
yang belum ada. Apalagi, saya memiliki asumsi bahwa institusi tradisional terutama terkait dengan penguasaan lahan masih
berlaku, meskipun tidak secara kasat mata mudah dilihat.
Model Penguasaan Tanah
Meskipun dahulu kala orang Timor tidak merasa penting untuk memiliki lahan pribadi, tetapi secara faktual lahan-lahan per-
ladangan tetap (po'an), dan belukar bekas ladang (bane) bisa diwariskan penggunaannya. Melalui mekanisme tebas bakar
dan rotasi, para peladang akan menggunakan ladang selama satu kurun waktu tertentu dan kemudian ditinggalkan ketika
tanah tidak lagi subur. Selama diberakan, tidak ada orang lain yang menggunakan lahan tersebut. Pada satu ketika sang
peladang akan kembali ke lahan yang diberakan tersebut. Ketika sudah berkali-kali digunakan oleh peladang yang sama,
maka lahan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya.
Orang lain di luar wilayah penguasaan seorang amaf pada dasarnya dapat bekerja atau memiliki lahan pertanian pada satu
autuf yang dikuasai seorang amaf. Orang yang masih berkerabat dengan klan penguasa lahan lebih mudah mendapatkan
bidang-bidang lahan melalui suatu upacara permohonan lahan. Ketika saya berdialog dengan Petrus Almet beberapa tahun