Page 204 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 204

194     Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
               Megaproyek MP3EI Bekerja?



                                   dan lebih lama dibandingkan perlawanan di Fatu Nausus. Perlawanan di Desa Fatumnasi diikuti oleh perwakilan dari lebih
                                   20-an desa, melibatkan 3000 an orang. Hal yang lebih menakjubkan adalah perlawanan ini dilakukan dengan cara melaku-
                                   kan perkemahan selama 3 bulan di hutan-hutan sekitar batu selama kurang lebih 1 tahun hingga PT. Teja Sekawan tidak lagi
                                   melanjutkan pertambangannya di Desa Fatumnasi.

                                   Pembangunan perlawanan terhadap tambang  di wilayah Mollo adalah sebuah proses yang panjang yang dipicu oleh berba-
                                   gai hal. Nelson (2003) merangkum semacam tipologi pemicu perlawanan di Mollo. Dalam desertasinya, Nelson mendeskrip-
                                   sikan dialognya dengan Aleta Baun mengenai alasan-alasan turut sertanya para amaf, rakyat biasa, laki-laki dan perem-
                                   puan terlibat dalam melawan tambang. Saya mencoba merangkum dialog tersebut dengan menyebutnya sebagi kerangka
                                   respon (melawan atau tidak melawan) orang Timor terhadap tambang.

                                   Menurut dialog yang dilakukan Nelson dengan Aleta Baun yang dituliskan dalam desertasinya terdapat 4 kelompok pendapat
                                   yang menjelaskan mengapa orang Mollo melawan. Pertama, ketidaksukaan (bahkan kebencian) terkait dengan pelecehan
                                   institusi adat  dan  pelecehan atas hak-hak kepemimpinan ulayat. Alasan kedua adalah kekhawatiran atas kerusakan ling-
                                   kungan yang berpengaruh pada penghidupan. Ketiga, pelecehan nilai-nilai kultural yang terkandung pada situs-situs sejarah
                                   orang Timor, dan keempat ketidakpuasan atas distribusi hasil pertambangan maupun partisipasi mencakup didalamnya
                                   adalah partisipasi dalam lapangan pekerjaan.

                                   Terkait dengan alasan pertama, ijin sosial untuk menambang Fatu Nausus-Anjaf, dikeluarkan oleh Edison Oematan, yang
                                   merupakan keturunan langsung dari Fettor Mollo, SSH Oematan. Hal ini bermasalah karena menurut para tetua adat Mollo,
                                   Edison Oematan tidak memiliki hak untuk 'menjual' batu Nausus-Anjaf.  Dalam epik kekuasaan di Mollo, keluarga bermarga
                                   Oematan terbagi menjadi dua. Oematan yang orang Timor, dan Oematan keturunan Tionghoa. Pada jaman kolonial, terjadi
                                   pergeseran kekuasaan dari Oematan Timor kepada Oematan keturunan Tionghoa. Belanda, mengangkat Lay Akun, nenek
                                   moyang Edison Oematan menjadi Fettor. Fettor adalah pimpinan wilayah yang didukung atau dibentuk Belanda melalui
                                   traktat pendek yang juga dikenal sebagai swapraja (zelfbestuur) (Nordholt & Gerrit 1971).


                                   Menurut para tetua adat, dan tokoh-tokoh di Mollo, penguasa wilayah asli adalah turunan langsung Tolukem Tassa (Nelson
                                   2003). Keturunan Lay Akun, dipandang sebagai boneka dan tidak memiliki hak  memiliki apalagi menjual sumber daya alam
                                   di Mollo.




                                                                                                    Gambar 4: Bekas penggalian batu mangan.
                                                                                                               Foto: Torry Kuswardono.
   199   200   201   202   203   204   205   206   207   208   209