Page 206 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 206
196 Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
Megaproyek MP3EI Bekerja?
Alasan ketiga, berangkat dari kepercayaan atas mitos tentang Fatu Nausus, dan juga lokasinya yang memang berada pada
hulu sungai Benanain dan Noelmina, kelompok-kelompok anti tambang meyakini jika Fatu Nausus rusak, maka kerusakan
lingkungan pada skala yang lebih luas tak bisa terhindarkan. Sebetulnya, penambangan Fatu Nausus belum menghasilkan
kerusakan yang meluas, tetapi kekuatiran atas meluasnya kerusakan dan menjadi preseden akan dibongkarnya bukit-bukit
batu lainnya yang tersebar di seantero Molo menambah keyakinan orang Mollo untuk melawan.
Nelson (2003) menuliskan bahwa induksi pengetahuan tentang kelestarian lingkungan dan dampak lingkungan yang dibawa
oleh ornop-ornop lingkungan ke dalam proses perlawanan orang Mollo, sedikit banyak berpengaruh pada pemahaman orang
Mollo atas lingkungan. Walaupun, dampak seperti yang diinduksikan oleh aktifis ornop belum terlihat pada konteks Mollo.
Hal lain yang menyebabkan keyakinan orang Mollo, terutama yang bertempat tinggal di sekitar Fatu Nausus untuk melawan
adalah dampak yang diakibatkan oleh tambang serupa di Fatu Naetapan di desa Tunua, sekitar 7 km dari Fatu Nausus.
Penambangan di Naetapan berjalan sangat cepat berjalan bersamaan dengan penambangan Fatu Nausus, Fatu Naetapan
tidak memilki nilai historis yang sama seperti Fatu Nausus. Amaf di desa Tunua sudah menyetujui penambangan di Tunua
dengan janji menyediakan sekolah, membangun perumahan, dan gereja. Namun, ketika hanya pembangunan gereja yang
terpenuhi, rakyat Tunua baru bangkit melawan. Itu pun setelah kerusakan lingkungan seperti longsor terjadi di tepat di
bawah Fatu Naetapan yang merusak kebun-kebun rakyat dan menutup beberapa mata air.
Alasan keempat adalah distribusi hasil tambang. Fatu Nausus, adalah tempat keramat bukan satu dua keluarga, tetapi tem-
pat keramat satu domai yang luas, Mollo. Keluarga-keluarga dari 8 amaf ada yang merasa bahwa Edison Oematan serakah
karena mau menikmati sendiri hasil tambang marmer. Selain itu karakteristik pertambangan marmer adalah padat modal
dan tidak merekrut banyak pekerja lokal. Hanya sedikit orang lokal yang terlibat sebagai pekerja pertambangan.
Satu hal yang menarik adalah perlawanan di Mollo hingga puluhan Desa. Rupanya, situs-situs keramat yang menjadi sasa-
ran penambangan memiliki nilai historik yang berskala domain. Mitos, epik, dan hikayat, situs keramat Fatu Nausus bukan-
lah cerita satu dua klan, melainkan cerita yang juga tersebar sampai ke domain-domain lain di Kabupaten TTS dan juga
Kupang. Saya pribadi, bersama seorang kawan, lewat sebuah studi mengenai metode tradisional peramalan iklim pada
tahun 2013 menemukan bahwa kawasan Mollo adalah salah satu area penanda yang digunakan oleh orang Timor di
Fatuleu, 40 km di sebelah barat Mollo, dan juga di Amanuban 30 km di sebelah selatan Mollo, untuk memproyeksi musim
hujan. Dengan demikian bukanlah hal yang aneh jika respon warga Mollo terhadap pertambangan di Fatu Nausus, dan
bukit-bukit batu di sekitar Gunung Mutis, dan Gunung Mollo begitu meluas.
Perlawanan di Oekopa
Bulan September 2013, tetua-tetua adat Desa Oekopa berkumpul di Busan, tetua klan Usatnesi, Sonaf Kba'at, Soanbubu,
dan Suilkono memimpin upacara yang juga dihadiri klan-klan Monemnasi, Tasi, Amteme Taekab, Amsikan, Naitsea,
Leoklaran, Taslulu, dan Usboko. Warga desa tetangga, dari Desa Orinbesi, Inggureo, Tualene, Tautpah, Taunbaun dan Biloe
juga turut menghadiri upacara sakral ini.
Upacara ini adalah upaya untuk “sebuah pemurnian untuk memperkuat yang benar, bukan membenarkan yang kuat karena
dipengaruhi oleh kekuasaanan uang”, ujar salah satu tetua adat klan Usboko. 6