Page 207 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 207
Relasi Kuasa Pertambangan Mangan 197
di Nusa Tenggara Timur
Warga dari berbagai desa berkumpul di Busan dengan satu niat untuk menolak operasi pertambangan PT. Gema Energi
Indonesia, yang mendapat IUP Produksi pada tahun 2011. Kasus penolakan pertambangan ini boleh jadi adalah satu-
satunya kasus pertambangan mangan yang mengemuka di media. Warga desa Oekopa, yang didominasi oleh Klan Usatnesi,
Sonaf Kba'at, Soanbubu, dan Silkono menolak mentah-mentah berlangsungnya tambang di wilayah desa mereka.
Untuk kasus pertambangan mangan, umumnya konflik terbuka antara warga dengan pemerintah di kabupaten-kabupaten di
Timor Barat atau perusahaan tidak bernuansa penolakan secara bulat. Pada berbagai kasus di kabupaten Timor Tengah Se-
latan seperti misalnya demonstrasi di Desa Supul pada akhir tahun 2010, berkaitan dengan harga jual batu mangan yang
rendah oleh perusahaan. Demikian pula pada bulan Oktober 2010, terjadi demonstrasi besar- justru untuk menuntut agar
pemberian ijin pertambangan bagi salah satu perusahaan dan pertambangan rakyat dikeluarkan oleh Bupati TTS. 7
Kasus penolakan Oekopa dalam hal ini menjadi menarik, karena menjadi satu-satunya kasus penolakan tambang mangan
oleh warga desa di Timor Barat.
Jika dilihat lebih dalam, terdapat beberapa kesamaan antara penolakan tambang marmer di Mollo Kabupaten TTS dan kasus
penolakan di Desa Oekopa. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari kacamata proses masuknya investasi tambang dan juga
alasan-alasan penolakan oleh warga.
Dari sisi proses, menurut investigasi WALHI NTT, LAKMAS Cendana Wangi, dan JPIC SVD, pertambangan di Desa Oekopa,
masuk tanpa sosialisasi yang jelas kepada warga. Selain itu, perusahaan juga masuk tanpa permisi pada penguasa wilayah
atau klan pah tuaf. PT GEI masuk lewat kepala desa yang kemudian mencoba menggunakan cara-cara klasik seperti mema-
nipulasi daftar hadir dan membujuk ganti rugi lahan kepada orang-orang tertentu (Naif et al. 2012. Dalam laporannya,
WALHI NTT, LAKMAS Cendana Wangi, dan JPIC SVD menuliskan beberapa kejanggalan sebagai berikut:
1. Sosialisasi dilakukan sekali pada tahun 2010 oleh PT. Gema Energi Indonesia (GEI) yang dihadiri 22 orang dari Oekopa;
Pada saat itu terjadi pemalsuan dokumen karena Kepala Desa mengambil hak sebagai tokoh adat, sedangkan sekretaris
desa menduduki posisi sebagai Kepala Desa;
2. Ganti-rugi lahan dimana per/hektare 22,5 juta; Sebagai ikatan dengan setiap warga pemilik lahan per/hektare 2 juta
namun pada realisasinya 1 juta/pemilik lahan;
3. Pohon-pohon jati yang berada di lokasi pertambangan diganti dengan harga yang bervariasi yaitu Rp 50.000 – Rp
500.000,00
Selain itu menurut warga Desa Oekopa dalam FGD awal November 2013, mereka menceritakan bahwa justru kepala Desa
yang klannya tidak memiliki hak atas tanah di wilayah itulah yang kemudian paling bersemangat memfasilitasi PT. GEI.
Warga desa yang status sosialnya adalah kolo manu atau hanya pengikut yang mendapatkan lahan dari klan-klan utama di
Desa Oekopa dimobilisasi oleh pemerintah desa untuk turut serta menerima ganti rugi. Menurut Gradus Usatnesi, pemimpin
Forum Peduli Lingkungan Desa Oekopa yang dibentuk dalam rangka melawan PT. GEI, warga desa yang tidak tahu menahu
diajak oleh kepala desa menunjuk dan mengkapling belukar-belukar untuk mendapat ganti rugi.
Di Desa Oekopa sendiri penggalian batu mangan dan penjualan batu mangan sudah berlangsung semenjak maraknya
tambang mangan pada tahun 2008. Namun skalanya masih kecil dan hanya beberapa orang saja yang menjual pada para
pembeli. Tidak ada yang membayangkan bahwa wilayah Desa Oekop, Tualene, dan Orinbesi adalah wilayah IUP PT. GEI