Page 212 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 212
202 Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa
Megaproyek MP3EI Bekerja?
Menurut Wilhelmus PT. Tiara Utfar Mandiri (TUM) yang memegang IUP sebelum kemudian diambil alih PT. Elang Perkasa
Resources, bekerja sama dengan baik dengan masyarakat. Tidak ada batasan bagi penduduk desa untuk ikut memilih dan
menjual batu selama dijual pada PT. TUM. Tetapi ketika PT. Elang Perkasa Resources (EPR) masuk, justru yang terjadi adalah
pembatasan. Orang tidak lagi menjual batu mangan kepada PT. EPR. Hanya sedikit warga yang bisa bekerja di lokasi itu pun
dengan gaji bulanan yang hanya Rp. 900 ribu rupiah. Jauh dari pendapatan ketika PT. TUM masih beroperasi.
Pernyataan-pernyataan Kornelis Beti, Wilhelmus Oki, dan Yoakim Ulu Manehat, yang merupakan anak tanah Timor, mene-
gaskan dan menggarisbawahi tentang penguasaan lahan. Ketiganya berasal dari klan-klan penguasa tanah yang secara
tegas menjelaskan batasan antara pendatang penambang dan pemilik tanah. Rupanya jika penambang bekerja sama dengan
klan-klan pemilik tanah, dan klan pemilik tanah merasa mendapatkan untung, maka penambangan berjalan mulus.
Lalu bagaimana dengan situs-situs keramat? Rupanya situs keramat adalah sebuah batas yang juga cukup tegas, minimal
saya temui di Timor Tengah Utara. Yoakim yang berasal dari domain Biboki menegaskan bahwa sejak awal, Yoakim sudah
berunding dengan para tetua adat yang meguasai domain Biboki di bagian utara. Katanya, para tua adat berpesan bahwa
menambang hanya boleh dilakukan dengan jarak paling dekat 1 km dari situs keramat. Jika melanggar akan mendapatkan
akibatnya.
Senada dengan Yoakim, Wilhelmus menyatakan bahwa tetua adat di Bakitolas pun melarang penambangan di wilayah-
wilayah keramat. Dia bahkan menyatakan akan menjadi masalah besar jika perusahaan memaksa rakyat menambang dan
berujung pada perusakan wilayah keramat dan juga sumber-sumber air.
Selain itu, wilayah yang sudah menjadi kebun adalah batasan lain yang masih agak kabur. Yoakim menjelaskan bahwa
selama ini wilayah yang ditambang bukanlah kebun, melainkan padang dan sabana. Demikan juga keterangan Wilhelmus
senada dengan Yoakim. Wilhelmus menerangkan bahwa selama ini, sepanjang 2008-2011, wilayah yang ditambang di
Bakitolas baru satu tempat, dan tempat itu bukanlah kebun. Belum ada kasus dimana belukar bekas ladang atau ladang
yang sedang digarap digali tanahnya untuk mengambil batu mangan. Yang terjadi di kebun adalah orang mengumpulkan batu
mangan di atas permukaan.
Akhir
Melihat sistem penguasaan lahan orang Timor sekaligus juga bagaimana orang Timor memperlakukan alam yang juga mem-
pengaruhi struktur sosialnya, bisa dikatakan bahwa respon warga Timor terhadap industri ekstraktif tergantung pada bebe-
rapa hal pokok. Pertama, proses negosiasi awal yang kompatibel dengan struktur sosial dan penguasaan lahan. Kasus-
kasus penolakan maupun penerimaan sangat bergantung pada bagaimana orang dari luar 'mengetuk pintu' dan memahami
siapa-siapa yang menjadi pemimpin tradisional terutama sekali karena pemimpin tradisional adalah penguasa lahan. Meng-
etuk pintu melalui pimpinan formal bisa jadi tepat jika pimpinan formal juga adalah pimpinan tradisional. Tetapi menjadi
menimbulkan masalah besar ketika pimpinan formal bukanlah pimpinan tradisional. Apalagi jika pimpinan formal mencoba
kewenangannya melampaui kepemimpinan tradisional.
Kedua, simbol-simbol tradisi dan identitas adalah batas dari penerimaan dan penolakan. Kasus di Mollo dan Oekopa jelas
melanggar dan melecehkan simbol tradisional. Kerusakan atau ancaman kerusakan pada situs keramat dapat menimbulkan
kemarahan yang meluas. Tetapi patut dicatat, meluas atau tidaknya kemarahan juga tergantung cakupan dari simbol tradi-.