Page 209 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 209
Relasi Kuasa Pertambangan Mangan 199
di Nusa Tenggara Timur
pinsi pada tahun 2010 yang dapat menjawab berapa jumlah mangan yang sudah keluar. Mereka hanya menjawab ribuan ton
tanpa bisa menyebut angka pasti.
Kondisi ini rupanya tidak hanya terjadi di NTT, tetapi juga menyeluruh secara nasional. Sehingga demi memenuhi kebutuhan
nasional sesuai UU Mineral dan Batubara no 4/2009, dibangunlah satu kebijakan hilirisasi yang memiliki beberapa kom-
ponen. Pertama, penertiban IUP melalui proses clean and clear yang dimulai pada tahun 2011. Kedua, pajak ekspor bahan
mentah sebesar 20% untuk 14 komoditi utama termasuk mangan. Dan yang terakhir adalah kebijakan larangan sama sekali
ekspor bahan mentah pada tahun 2014. Bahan mentah harus diolah menjadi bahan baku sebelum dapat diekspor. Sesuai
dengan UU no 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, perusahaan-perusahaan harus membangun smelter agar dapat meng-
ekspor mineral.
Itu faktor domestik. Faktor internasional rupanya juga berpengaruh. Maraknya tambang mangan di tahun 2008 rupanya ber-
ada pada puncak harga mangan internasional. Setelah tahun 2008, harga mangan terus jatuh mengikuti harga mineral
lainnya dan terpuruk hingga sekarang. Bahkan, pada laporan paruh kedua tahun 2013, salah satu konsultan dan manajemen
investasi kelas dunia Price Waterhouse Cooper, masih menyatakan bahwa investasi sektor pertambangan masih belum akan
bangkit hingga tahun 2015.
Pada situasi redupnya pertambangan mangan ini, saya mendapatkan jawaban-jawaban jujur dari mereka tua adat, maupun
tokoh warga yang pernah menikmati kegelimangan uang mangan.
Kasus pertama yang saya coba elaborasi adalah kasus pertambangan Desa Supul oleh PT. Soe Makmur Resources. PT SMR
biasanya disebut demikian mengantungi ijin pertambangan yang merupakan konversi dari generasi terakhir kuasa pertam-
bangan (KP) yang kewenangannya berada di tangan gubernur. Setelah UU no 4/2009 disahkan, KP PT. SMR berubah menjadi
IUP yang dikeluarkan oleh Gubernur NTT.
Di desa Supul, PT. SMR masuk lewat perantaraan Jonatan Nubatonis, mantan anggota DPD, yang juga tokoh yang dihormati
8
di kalangan warga Amanuban. Kornelis Beti, salah satu amaf yang juga mantan kepala Desa Supul menceritakan perun-
dingan antara PT. SMR dan para amaf dan tuan tanah yang memiliki suf di Desa pada bulan Juli 2008. Menurut Kornelis,
waktu itu Jonatan menjelaskan tentang nilai batu mangan, dan bahwa mangan dapat menghasilkan kemakmuran bagi Desa
Supul. Jonatan waktu datang sebagai kerabat karena klan-klan Beti-Faot, Liunima-Nisimnasi di Desa Supul dan Noebesa
memiliki hubungan kerabat dengan klan Beti.
Perundingan bisa dikatakan cukup mulus, walaupun beberapa amaf termasuk Kornelis menyatakan tidak bersedia jika PT.
SMR menggarap sendiri pengambilan bahan mangan dari suf-suf mereka. Akhirnya disepakati beberapa suf digarap dengan
bantuan PT. SMR. Pada beberapa suf yang dijinkan pemilik lahan (amaf) perusahaan menyediakan alat berat untuk meng-
garuk lapisan-lapisan tanah dan sementara pemilik lahan memobilisasi pekerja untuk memilih batu dari tanah yang telah
digaruk. Sementara pada suf lainnya tuan tanah yang akan memobilisasi pekerja dan menggali secara manual.
Dalam kesepakatan, PT. SMR akan membeli batu mangan yang digali dengan harga yang berbeda. Harga mangan yang di-
dukung alat berat lebih rendah dibanding harga mangan yang digali dengan cara manual.
Sistem bagi hasil pun dibicarakan. Setiap pemilik lahan yang notabene adalah para amaf atau anggota klan amaf akan men-
dapatkan bagi hasil sesuai dengan moda penambangan. Pada puncak penambangan di tahun 2010, harga jual mangan di