Page 65 - MP3EI, Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia
P. 65
55
MP3EI dan Perubahan Radikal dari Peran Negara
sektor informal, dan pengusiran secara paksa atas petani untuk meninggalkan tanah mereka. Kebijakan perampasan tanah
semacam ini terus berlanjut seiring dengan pemberian ijin untuk kegiatan di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan
yang semakin meluas seiring dengan kebijakan otonomi daerah.
Dengan terbentuknya negara neoliberal yang semakin ramah dan aktif memfasilitasi aliran kapital finansial dan industrial
untuk masuk ke Indonesia, maka pembentukan MP3EI laiknya seperti pukulan gong peresmian suatu acara perjamuan yang
telah siap berjalan. MP3EI berada di dalam suatu fase dimana negara neoliberal sudah tercipta dan bekerja selama kurang
lebih satu dekade. Ia juga dapat dianggap sebagai momen pendalaman dari model pembangunan ekonomi dan strategi
industrialisasi pasca Orde Baru.
Pembentukan Blok Produksi
Terdapat dua mekanisme yang paling penting dari peranan negara untuk membuat MP3EI bekerja: Pertama, pengalokasian
ruang tertentu oleh negara dalam jangka waktu tertentu bagi kegiatan bisnis korporasi raksasa. Ini dilakukan dengan
memperluas atau menambah pemberian konsesi tanah skala luas untuk produksi komoditas global untuk sektor
pertambangan, perkebunan, kehutanan maupun dengan pembentukan kawasan-kawasan ekonomi, seperti kawasan
perhatian industri atau kawasan ekonomi khusus. Kedua, pembangunan infrastruktur sebagai layanan penghubung.
Pembangunan infrastruktur dimaksudkan dalam desain pembangunan ini semata-mata untuk melancarkan aliran barang
dan tenaga kerja dan menghubungkan pusat-pusat industri utama. Melalui MP3EI pembangunan infrastruktur untuk
kepentingan industri ini dilakukan baik melalui pembiayaan negara, investasi swasta maupun melalui mekanisme kemitraan
pemerintah dan swasta (Public-Private Partnership).
Pada mekanisme pertama, negara memberikan dan memperluas konsesi skala besar untuk produksi komoditas global
kepada korporasi-korporasi raksasa di bidang pertambangan, perkebunan dan kehutanan untuk memproduksi beragam
komoditas global atau komoditas keperluan ekspor. Model semacam ini sebenarnya telah berjalan sejak masa kolonial. Pada
wilayah hutan, misalnya, negara memberikan konsesi-konsesi yang berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak
Pengusahaan Hutan untuk Tanaman Industri (HPHTI), yang merupakan dua bentuk konsesi kehutanan terutama untuk
ekstrasi kayu. Hingga tahun 2005, luas areal konsesi kehutanan yang tersisa sekitar 28 juta hektar yang dikuasai hanya oleh
285 unit. Dengan lain kata, setiap unit menguasai sekitar 98.000 hektar lahan. Sementara, untuk Konsesi Pertambangan
negara memberikan sejumlah ijin yang berupa Kontak Karya (KK), Kuasa Pertambangan (KP), atau Izin Usaha Pertambangan
bagi beroperasinya industri tambang skala besar. Hingga tahun 1999 saja, Departemen Pertambangan mengalokasikan
sekitar 264,7 juta hektar lahan untuk 555 perusahaan pertambangan, baik perusahaan dalam negeri (swasta dan BUMN)
dan perusahaan asing, untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi barang tambang. Dengan kata lain, rata-rata setiap
perusahaan menguasai sekitar 0,5 juta hektar tanah melalui izin konsesi pertambangan. Sementara untuk usaha
perkebunan, negara memberikan Hak Guna Usaha (HGU) atau Izin Usaha Perkebunan untuk berbagai macam usaha
perkebunan (Bachriadi dan Wiradi 2011: 12-14). Data tahun 2013 saja, misalnya, mencatat lebih dari 13,5 juta hektar
diperuntukkan hanya untuk perkebunan sawit. Lebih dari separuhnya adalah perkebunan milik koorporasi asing, domestik,
maupun perusahaan negara.
Sebagaimana ditunjukkan dalam matriks berikut, berbagai macam kebijakan pertanahan yang telah muncul utamanya sejak
masa Orde Baru belum berhasil mengkoreksi dan membatalkan pemberian konsesi ini secara radikal, justru semakin
memperluasnya. Akibatnya, krisis agraria yang berupa ketimpangan penguasaan atas tanah, perampasan tanah, transaksi
tanah skala luas, pengusiran dan kekerasan terhadap rakyat Indonesia semakin sering terjadi. Hal semacam ini tentu