Page 108 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 108
Fenomena Kontemporer Pengaturan Tanah Adat
landasan kebolehan menjual tanah adat. Kini “pembangunan”
juga adalah “ibu”, karena pembangunan juga bertujuan untuk
kelangsungan anak cucu. Maka menjual tanah untuk kepentingan
pembangunan, menjadi dibolehkan. Sejauhmana hal ini pernah
berkelindan dalam perdebatan adat, suatu keterangan hanya
memaparkan bahwa hal inilah yang menjadi dasar konstruksi
argumen mereka atas penjualan tanah adat.
Dalam Versi 2, memandang kekuasaan/kepemilikan tertinggi
atas tanah adat bukan pada Ondoafi, tapi dipegang oleh Khoselo
(Kepala Suku). Hal ini sebagaimana umumnya di Sentani. Ondoafi
hanya memiliki tanah yang melekat dalam jabatannya, bukan
keseluruhan tanah adat yang sebagiannya terdiri dari tanah milik
suku. Dan yang terjual antara era 1986-1997 tersebut adalah
tanah milik suku. Ondoafi tidak berhak untuk mengatur tanah
milik suku, dan Kepala Suku sepenuhnya punya hak prerogatif
atas tanah suku. Termasuk dalam memutuskan apakah sebuah
bidang tanah dijual atau tidak, Kepala Suku bisa memutuskan
sendirian. Dalam penjualan tanah suku ini, aspek tanggung jawab
pada anak cucu terselesaikan ketika uang hasil penjualan tanah
dibagi sama rata. Uang dibagi sampai kepada anak yang belum
dilahirkan, atau yang masih dalam kandungan. Dengan demikian,
yang belum lahirpun mendapat bagiannya sesuai pandangan adat
bahwa tanah adalah juga milk dari yang belum dilahirkan.
Versi 2 ini melihat berbagai kecurangan pada Ondoafi PhW
yang kini berkuasa. Dalam perjanjian antara BM dan Ondoafi
PhW sebelumnya, disepakati sistem bagi hasil 10 % untuk
pemilik/penjual tanah. Kenyataannya, 10 % ini diambil oleh
Ondoafi tanpa keterangan apapun pada pemilik/penjual tanah.
Sampai saat ini, hasil 10 % ini dinikmati sendiri oleh Ondoafi
— 89 —