Page 112 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 112
Fenomena Kontemporer Pengaturan Tanah Adat
3. Kebangkitan Adat dengan beberapa Pembaruan, 1995-
2010
Dalam perkembangannya, konflik tanah adat semakin nyata
terlihat sebagai persaingan antar elit adat untuk memperebutkan
penguasaan tanah adat. Masyarakat pada akhirnya menarik diri
dari keterlibatan memberi dukungan. Tanah telah terjual, adat
kebersamaan rusak, sedang hasil penjualan tanah hanya semakin
menonjolkan kepentingan suku-suku. Dengan kenyataan ini,
masyarakat tak peduli lagi pada legitimasi dan soal-soal wibawa
dalam adat, karena tanah memang sudah menjadi aset yang layak
diperebutkan. Sejauh tidak menyinggung tanah-tanah yang sudah
nyata diperuntukkan dalam penguasaan keluarga-keluarga, maka
masyarakat tidak akan mau terlibat lagi dalam kompetisi elit. Sejauh
pengamatan lepas, masyarakat jelas tidak menerima manfaat apa-apa
dari situasi sengketa ini, baik sengketa antar adat, maupun antara
adat dan BM. Justru sengketa telah merugikan masyarakat dengan
hilangnya sumber-sumber penghidupan, sedang hasil penjulan
tanah lebih banyak dinikmati oleh para Kepala Suku.
Memasuki tahun 1995 YPhW yang pulang dari merantau
dan terpilih menjadi Kepala Kampung, menyatakan sikapnya
untuk kembali melindungi adat dari berbagai kerusakan. YPhW
mengajak masyarakat Nendali agar kembali bersatu dan berhenti
menjual tanah-tanah adat. Di masa-masa ini penjalan tanah adat
memasuki babak akhir, begitu pula dengan animo masyarakat
untuk terlibat dalam konflik mulai pudar. Satu-persatu masyarakat
akhirnya mengikut ajakan YPhW. Bahkan YPhW berhasil menarik
PhW yang sebelumnya berbeda pandang untuk kembali saling
mendukung. Proses penyadaran ini berlaku antara tahun 1995
sampai 2008.
— 93 —