Page 117 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 117
Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis
Papua bukanlah hal yang asing bagi aparat BPN. Bagaimana
posisi tanah adat dalam struktur adat sendiri misalnya, aparat
BPN sebenarnya cukup mengerti dan memahami urgensi kultural
dari tanah tersebut, bahwa menjual tanah adat bukanlah hal yang
lazim dalam adat itu sendiri. Namun pertanyaannya, kenapa
berbagai pemahaman demikian tak berbicara banyak dalam soal
tanah adat di Nendali. Misalnya saja, BPN dengan segala bekal
pengertiannya tidak mampu membangun atau menyediakan suatu
sistem administrasi sementara yang memadai, setidaknya untuk
mengatasi ketiadaan jaminan perdata atas tanah adat.
Dalam akuan masyarakat, setiap kali mereka melaporkan kasus
sengketa tanah ke BPN dan berharap dapat penyelesaian, BPN
justru selalu pula menganjurkan agar masyarakat mengajukan
pengaduan saja pada pihak kepolisian atau pengadilan agar bisa
ditangani secara hukum. Proses pengadilan menjadi media yang
paling diandalkan oleh BPN. Peran pengadilan jauh lebih besar
7
daripada peran mediasi BPN. Kritik bermunculan dari banyak
pihak, termasuk oleh sebagian unsur dalam pemerintahan Papua
sendiri karena mekanisme pengadilan rentan semakin memperumit
dan mempertajam ketegangan pihak-pihak yang bersengketa.
Dengan menduga-duga saja, beberapa pihak beranggapan bahwa
bahwa kecanggungan BPN menghadapi sengketa dan konflik tanah
adat dikarenakan belum ada sistem pengadministrasian tanah adat
dalam konteks penguasaan wilayah dalam hukum pertanahan di
Indonesia. Ketiadaan sistem administrasi demikian menyebabkan
soal-soal pertanahan yang bersifat Perdata menjadi relatif kabur.
7. Data dari Kanwil BPN Papua tahun 2008 menunjukkan angka kasus sengketa
dan konflik sampai dengan November 2008 mencapai 121 kasus, 24 kasus
dialihkan ke pengadilan, 13 kasus diselesaikan melalui mediasi.
— 98 —