Page 12 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 12
Kata Pengantar
adalah memastikan keadilan akses dan demokratisasi kontrol atas
sumber-sumber agraria. Apabila setelah 50 tahun UUPA kita masih
menghadapi ketimpangan dan kemiskinan akut, barangkali yang
diperlukan adalah memproblematisasi Land Governance ala Bank
Dunia yang mewarnai rona kebijakan pertanahan di Indonesia
dalam 30 tahun terakhir dan menemukan dimensi baru; memulai
sejarah baru!
Diskursus kontemporer tentang kebijakan agraria berkisar
pada dua soal: tentang sejauhmana kebijakan tersebut bersifat
pro-poor dan tentang governance. Dalam hal governance, Bank
Dunia memunculkan kutub sendiri tentang land governance abad
21 yang dideklarasikan di Washington tahun 2009 sebagai resep
mujarab untuk mencapai pengurangan kemiskinan dalam cetak
biru Millennium Development Goals. Terdapat delapan butir
deklarasi, yang di antaranya adalah mengamankan investasi di
bidang pertanahan dan properti agar pertumbuhan ekonomi dapat
difasilitasi. Salah satu tema penting untuk mencapai deklarasi ini
ialah berjalannya sistem administrasi pertanahan yang memastikan
bahwa pasar tanah bekerja di semua lini atau “making land markets
work for all”, termasuk bekerja untuk orang miskin.
Dalam empat tahun terakhir, setidaknya sampai dengan
tahun 2008 sudah 13 juta sertifikat tanah dihasilkan oleh Badan
Pertanahan Nasional, termasuk dari program-program legalisasi aset
yang dikhususkan bagi kaum miskin. Legalisasi aset diangankan
memberikan proteksi hak individual atas tanah. Namun seturut
dengan itu individualisasi hak atas tanah memudahkan pasar
tanah bekerja melepaskan ikatan-ikatan hak, karena sesungguhnya
komoditisasi tanah (pun tanpa melalui legalisasi), menurut Polanyi
(1944): itu fiksi. Begitu tanah diperdagangkan, sehingga ikatan-
ikatan hubungan sosial atas tanah dilepaskan, niscaya akan terjadi
— xi —