Page 128 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 128
Fenomena Kontemporer Pengaturan Tanah Adat
sebagai kerajaan paling populer dari Minangkabau, sebenarnya
tidak bisa dipahami sama seperti kerajaan di Jawa, misalnya. Nagari
berdaulat sendiri-sendiri, dan kerajaan Pagaruyung hanyalah sebuah
Nagari tersendiri dengan kelengkapan pranata adat tersendiri pula.
Kerajaan dalam makna orang Minang hanyalah legitimasi simbolik
atas kesatuan budaya mereka, namun samasekali bukan kesatuan
politik. Tidak ada satu Nagari pun yang mengacu dan tunduk
pada Pagaruyung yang disebut sebagai kerajaan demikian. Hingga
kerajaan juga tidak memiliki tanah-tanah tertentu, terkecuali
hanya tanah-tanah Nagari.
Karakter budaya orang Minang enggan beraja pada tuan,
namun mufakat-lah yang dipilih sebagai raja sebenarnya.
Hingga dalam sejarahnya, tidak ada Nagari yang persis sama di
berbagai sisinya. Setiap Nagari memiliki ciri dan penekanan yang
saling berbeda dalam berbagai pengaturan sosial. Keberagaman
pengaturan ruang sosial ini kembali hidup dan menjadi perdebatan
saat ini. Namun semeriah apapun perdebatan yang terjadi, soal
pengaturan tanah-tanah adat tetap saja menjadi hal yang paling
sulit untuk diperdebatkan bagi orang-orang Minang. Walau
beberapa pembicaraan semakin sering terjadi saat ini menyangkut
penyesuaian pengaturan tanah-tanah adat dengan perkembangan
keadaan, namun fungsi tanah bagi masyarakat Minang sebagai
bersifat genealogis masih lebih menonjol ketimbang sebagai alat
ekonomi semata.
Tanah adat menjadi penanda utama atas hak seseorang dalam
menempati ruang sosial. Ketika tanah adat dijual misalnya, maka
setiap diri bersangkutan terlempar dari ruang sosialnya dengan
berbagai ikutan lainnya yang bisajadi naas. Tanah kemudian menjadi
unsur penting penentu dalam relasi diri dalam ruang sosial. Orang-
orang Minang yang walaupun sukses di rantau dan tidak memiliki
— 109 —