Page 126 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 126
Fenomena Kontemporer Pengaturan Tanah Adat
menimbulkan disintegrasi dan sumber separatisme. Stereotip yang
selalu memproduksi momok adat sebagai hal negatif ini, mesti
diuji dan harus dibongkar selubungnya. Separatisme jelas berakibat
disintegrasi karena menonjolkan perbedaan-perbedaannya sebagai
arus utama gerakan. Namun tidak bisa begitu saja hal demikian
disamakan sebagai adat. Beberapa kenyataan jelas menunjukkan
sebaliknya.
Beberapa poin yang dijelaskan ini masih saja menyimpan
beberapa titik perbandingan dan inspirasi bagi masyarakat
adat sendiri untuk terus mengusahakan kedaulatan pengaturan
atas hak-haknya (tanah-tanah adat). Namun tanpa harus
menggeneralisasi secara tergesa-gesa. Setiap lokalitas tentu punya
ciri masing-masing yang berhak diperhatikan (dihargai).
Sumatra Barat misalnya, menunjukkan beberapa perkembangan
yang radikal. Euphoria Babaliak ka Nagari, atau kembali pada sistem
kepemimpinan lokal dengan sistem Nagari memang mengandaikan
pengaturan-pengaturan tanah-tanah adat sepenuhnya harus
diserahkan pada Nagari. Di tiga Kabupaten sebagai basis Nagari:
Agam, Tanah Data dan Limo Puluah Kota sudah menerapkan
sistem seperti ini. Melalui Perda Nagari tahun 2000, Nagari menjadi
satuan pemerintahan terendah selain sebagai kesatuan masyarakat
adat. Melalui Perda ini pula, pemerintah daerah sepenuhnya
dan selanjutnya konsekwen mengakui wewenang Nagari untuk
menentukan sistem batas wilayah adat serta pengaturan-pengaturan
lainnya. Namun dalam beberapa hal, kebijakan baru ini masih
tidak sinkron dengan UU Kehutanan no 41 tahun 1999 juga
18
UUPA 1960. Terjadinya desentralisasi tidak beriringan dengan
18. Kurnia Warman. Hutan Adat di “Persimpangan Jalan”: Kedudukan Hutan
Adat di Sumatra Barat ada Era Desentralisasi. Dalam. Ibid. Myrna A Safitri
— 107 —