Page 127 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 127
Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis
pembentukan aturan-aturan sektoral baru yang sesuai. Ungkapan
“lepas kepala pegang ekor” sepertinya masih berlaku.
Namun setidaknya, sudah terjadi peleburan desa ke dalam
Nagari. Dualisme kepemimpinan seperti yang dikeluhkan oleh
para pemangku adat Nendali misalnya, dan bagi orang Sumatra
Barat sendiri disebut sebagai telah mencabik-cabik eksistensi
budayanya, kini diputus.
Aura dialektik tetap saja lebih kentara dalam konteks
masyarakat adat di Sumatra Barat. Dengan ragam peran adat dalam
pemerintahan negara demikian, melahirkan perdebatan-perdebatan
lanjut justru di masyarakat adat itu sendiri. Beberapa hal yang paling
mengemuka, kepentingan siapa yang sebenarnya dibawa dalam
adat tersebut. Oleh beberapa orang dari dalam lingkungan adat itu
sendiri juga melihat, bahwa adat tidak relevan lagi dipakaikan di
zaman yang sudah berubah ini. Bahkan, penguatan masyarakat bagi
sebagian mereka dipandang akan lebih bermanfaat jika melampaui
konstruksi-konstruksi primordial belaka, seperti identitas etnis,
19
religi dan batas wilayah. Sumatra Barat memang sudah inheren
di dalam dirinya selalu gelisah.
Sumatra Barat dengan homogenitas budaya Minangkabau, pada
dasarnya sangat terbuka bagi perbedaan pendapat. Homogenitas
demikian nyatanya melahirkan heterogenitas yang tinggi dalam
sendi-sendi sosial. Keberadaan Nagari yang memang otonom
masing-masingnya, merupakan konsekwensi dari kebebasan
menentukan diri sendiri. Kerajaan Pagaruyung yang dikenal
dan Tristam Moeliono (Ed). Hlm. 75-78.
19. Renske Biezeveld. Ragam Peran Adat di Sumatra Barat. Dalam, Jamie S.
Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga (Ed). Adat dalam Politik
Indonesia. Obor Indonesia bekerjasama dengan Hivos, KITLV Jakarta, VVI
Leiden, dan Adatrecht Stichting, Jakarta, 2010. Hlm. 221-236.
— 108 —