Page 150 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 150
Krisis Keberlanjutan Sumber Penghidupan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis di Pulau Kecil
Kemerdekaan Indonesia yang dicapai pada tahun 1945 tidak
berarti diperoleh juga kemerdekaan sejati atas penguasaan kekayaan
sumber agraria. Jika kita melihat potret kehidupan masyarakat
Indonesia khususnya masyarakat “tambang” saat ini, maka yang
tampak adalah ternyata negara kita masih terjajah. Perbedaannya
terletak pada model penjajahannya saja. Modus penjajahan saat
ini berupa ekspansi kekuatan modal dan mekanisme pasar yang
menempatkan kekayaan agraria sebagai aset ekonomi yang dapat
dieksploitasi belaka. Keberadaan ini menempatkan masyarakat
sebagai penonton belaka sehingga terperangkap dalam jala
kemiskinan. Bila dahulu kekuatan modal diwakili oleh kaum
liberal yang mendapat fasilitas negara Hindia Belanda atau
bahkan negara itu sendiri, maka perannya kini digantikan oleh
perusahaan-perusahaan global atau trasnational corporation. Ada
kecenderungan pula bahwa korporasi global mengalami konsentrasi
kekayaan dan monopoli pada segelintir korporasi.
Menurut Corner dalam Jatam 2003, imperalisme merupakan
“penguasaan secara formal atau tidak formal atas sumberdaya
ekonomi setempat yang lebih banyak menguntungkan kekuatan
metropolitan dan merugikan ekonomi setempat”, dalam prakteknya
pola hubungan ekonomi yang biasa dilakukan antara negara-
negara sedang berkembang dan negara industri menunjukan
kenyataan hanya ada sedikit pengolahan dilakukan di dalam
negeri penghasil bahan mineral, sehingga barang yang dikirim
mempunyai nilai tambah yang tidak terlampau banyak. Negara-
negara Utaralah yang akan mendapatkan keuntungan lebih besar
dari industri pertambangan ini, contohnya Eropa, Amerika Utara,
Jepang. Merekalah yang menjadi penyerap lebih banyak ekspor
produk mineral dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi
bahan setengah jadi dan kemudian dieskpor kembali ke negara
— 131 —