Page 196 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 196
Integrasi “Reforma Agraria” dengan Rencana Pembangunan Wilayah dan Pengentasan Kemiskinan
nestapa kemiskinan panjang. Namun, tantangan pasca sertifikasi
juga mengancam mereka dapat kembali pada jerat kondisi lama
berhadapan dengan sistem ekonomi kapitalistik yang lebih canggih
yang hidup di sekitar mereka.
Pelajaran menarik dan penting dari perjuangan land reform
Wong Persil di Gambaranyar adalah tuntutan sertifikasi dan
legalisasi lahan atau hak atas tanah ‘mayoritas’ masih menjadi
puncak dari perjuangan gerakan agraria. Saat hak milik tanah telah
tercapai, maka perjuangan dianggap usai. Semangat kolektifitas
perlahan luntur, berganti dengan kompetensi individu untuk
pemenuhan kebutuhan pribadi-pribadi dan keluarga atas sesuatu
yang tidak dimiliki sebelumnya. Aktivitas ke-organisasian atau
kelompok tani pun dianggap tidak terlalu penting lagi. Meski dapat
dimaklumi, mengingat getir-pahit perjuangan selama kurang lebih
30 tahun dalam penderitaan dan penindasan. Namun, jika tidak
segera diantisipasi kondisi di atas, akan mendorong pengabaian
pentingnya: 1) Merombak struktur sosial, ekonomi, politik yang
menjadi sistem terselubung pencipta kemiskinan dan ketimpangan
agraria. 2) Mempersiapkan kelembagaan sosial-ekonomi bersama,
untuk menjaga semangat kolektivitas dan semangat perjuangan. 3)
Sistem kelola Bersama, 4) Acces reform (ketrampilan, pendidikan,
akses modal, dll) untuk melengkapi ‘keberhasilan’ perjuangan land
reform dari bawah tersebut.
Pengabaian ini dari banyak pengalaman gerakan rakyat
yang melakukan land reform, termasuk di kasus Gambaranyar,
mengancam kembalinya kondisi ‘kemiskinan’ struktural-relasional
dalam sistem ekonomi, sosial, politik baru. Akibatnya, lahan-
lahan hasil perjuangan sebagian terpaksa dilepaskan (sewa, jual,
tukar guling dll). Jikapun tidak, hasil produksi dan surplus
lahan-lahan petani pejuang agraria tidak kembali dan belum
— 177 —