Page 170 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 170

M. Nazir Salim & Westi Utami

            di lapangan menyatakan bahwa beberapa perusahaan yang habis masa
            berlaku HPH nya banyak yang meninggalkan bekas kawasan HPH dan
            dibiarkan terlantar begitu saja. Kekosongan terhadap siapakah pengelola
            dan pihak yang bertanggungawab terhadap bekas lahan HPH tersebut
            serta lemahnya pengawasan oleh pemerintah menjadikan lahan bekas
            kawasan HPH sebagai sasaran empuk bagi pihak lain untuk melakukan
            budidaya/penguasaan dan pengusahaan terhadap bekas HPH tersebut.
            Ketika penguasaan kawasan eks. HPH sudah dikuasai oleh banyak pihak
            maka akan bermasalah jika akan dilakukan penertiban dan pengembalian
            status HPH. Habisnya masa pengelolaan HPH ini hampir sama dengan
            kasus tanah terlantar yang diakibatkan oleh telah habisnya masa penge-
            lolaan HGU atau ketidakmampuan pengelolaan yang dilakukan peme-
            gang HGU terhadap seluruh areal perolehan HGU sehingga menjadikan
            area yang tidak dikelola tersebut menjadi sasaran empuk bagi perebutan
            penguasaan lahan oleh pihak lain. Perbedaannya hanyalah ketika HPH
            menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup
            sementara HGU menjadi ranah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/
            Badan Pertanahan Nasional.

                Beberapa konflik penguasaan tanah pada kawasan hutan juga dipicu
            oleh masuknya komoditas tanaman baru di era tahun 1980-an yakni
            tanaman kelapa sawit. Komoditi ini terbukti menjanjikan bagi pening-
            katan keuntungan dan pendapatan bagi masyarakat maupun pengusaha
            perkebunan skala kecil maupun skala besar. Usaha perkebunan kelapa
            sawit yang sangat menggiurkan inilah yang menyebabkan masyarakat
            maupun perusahaan/pemodal melakukan ekspansi secara besar-besaran
            untuk meluaskan lahan garapan kelapa sawit. Keterbatasan lahan untuk
            perkebunan di luar kawasan hutan yang diperebutkan oleh banyak pihak
            dan sudah tidak tersedianya lahan menyebabkan sebagian dari kawasan
            hutan yang statusnya sebagai hutan lindung maupun hutan konservasi
            menjadi sasaran bagi perluasan perkebunan. Sebagaimana data KPA
            menunjukkan bahwa konflik perkebunan yang terjadi di luar kawasan
            hutan ataupun di dalam kawasan hutan mencapai luasan hingga
            591.640,32 hektar (73%). Dimana perkebunan kelapa sawit menduduki
            prosentase tertinggi terhadap konflik perkebunan baik luasan maupun
            jumlah konfliknya (KPA 2018). Sumarjono, Simarmata, dan Wibowo

              142
   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174   175