Page 177 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 177

Reforma Agraria: Menyelesaikan Mandat Konstitusi

               tidak terlepas dari adanya konflik dan permasalahan terkait perebutan
               atas penggunaan dan pemanfaatan lahannya. Konflik yang terjadi
               sebagian besar merupakan konflik antara masyarakat dengan perusa-
               haan/pemodal/pemegang izin disusul dengan konflik antara masyarakat
               dengan Kementerian LHK, konflik antarinstansi yang sering terjadi antara
               Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian LHK karena tata batas,
               konflik antara perusahaan dengan perusahaan, konflik antara masya-
               rakat pendatang dengan masyarakat lokal. Sebagaimana disampaikan
               oleh Safitri (2011) menyatakan bahwa tipologi konflik tenurial terdiri atas
               11 tipologi dan kondisi ini hampir semua terjadi di Sumatera Selatan.
               Berdasarkan hasil pendataan dan kajian yang dilakukan oleh Dinas
               Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2018 menyatakan bahwa di
               Sumatera Selatan terdapat 97 konflik tenurial yang tersebar di berbagai
               kabupaten/kota di Kawasan Hutan Sumatera Selatan dengan berbagai
               tipologi konflik. Belum jelasnya tata batas kehutanan dalam peta dan
               belum jelasnya tata batas kawasan hutan secara fisik di lapangan, serta
               terjadinya perubahan tata batas yang dilakukan oleh Kementerian Kehu-
               tanan yang telah terjadi berulang kali menjadikan beberapa lokasi yang
               sudah diterbitkan izin konsesi/izin HGU setelah adanya perubahan tata
               batas lokasi tersebut masuk dalam kawasan hutan.

                   Potret konflik lahan yang terjadi pada kawasan hutan di Sumatera
               Selatan salah satunya terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir tepatnya
               di Desa Rambai, Kecamatan Pangkalan Lampam. Masyarakat yang sudah
               tinggal pada kawasan hutan sejak Indonesia belum merdeka yakni di
               tahun 1938 dengan mengelola serta mengusahakan lahan pada kawasan
               hutan secara bijak dengan menerapkan kearifan lokal dan hukum adat
               yang telah dibentuk dan diterapkan selama tiga turunan, namun seketika
               mereka harus menerima penggusuran oleh pihak lain. Ekspansi lahan
               untuk perkebunan kelapa sawit dan karet yang dilakukan oleh pemilik
               modal dan perusahaan skala besar telah menggusur lahan yang subur
               dan potensial sebagai sumber utama penghidupan masyarakat di Desa
               Rambai. Penggusuran yang dilakukan dengan cara kekerasan tersebut
               telah memaksa masyarakat untuk menyerahkan lebih dari separuh lahan
               mereka yakni 55% dari lahan yang sebenarnya menjadi tanah adat untuk

                                                                         149
   172   173   174   175   176   177   178   179   180   181   182