Page 94 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 94

M. Nazir Salim & Westi Utami

            praktik terjadi tanah kembali terakumulasi pada segelintir orang, terma-
            suk mantan pejabat setempat. Akumulasi primitif seringkali terjadi dan
            pengumpulan tanah pada kelompok tertentu seringkali dari tanah-tanah
            redistribusi lahan berbasis hak individual yang skala perolehannya kecil,
            sehingga justru terjadi proses eksklusi (Sirait 2017, 18). Oleh karena itu,
            gagasan redistribusi kolektif yang berbasis hak non individual menge-
            muka sebagai bentuk mencari model bagaimana seharusnya RA yang
            efektif dilakukan. Poin ini menjadi salah satu argumen mengapa RA
            dengan skema pemanfaatan lahan kawasan hutan itu menjadi penting
            dan menemukan pembenarannya untuk dijalankan, karena ada jaminan
            bahwa petani penerima manfaat tidak akan melepaskan tanahnya, sebab
            skemanya bukan hak milik. Di Jawa, memang sistem kepemilikan lahan
            secara individu sudah lazim dan jamak terjadi, sementara di luar Jawa
            polanya masih informal, namun saat ini justru sedang menuju proses ke
            arah individualisasi, padahal kritik kebijakan tersebut (individualisasi
            tanah) telah banyak diajukan para pakar (Platteau 1996), sementara kita
            semakin mengukuhkan model Soto yang meyakini hak individu (serti-
            fikasi) merupakan pilihan terbaik dalam menyelamatkan tanah (Soto
            2001). Skema pemanfaatan hutan bagi petani (khususnya Jawa) adalah
            dalam kerangka menjaga wilayah tani sekitar hutan agar tidak berubah
            peruntukan dan pemanfaatannya.
                Pengalaman Indonesia, puluhan tahun pasca lahirnya UUPA (khu-
            susnya pasca 1965), jalannya RA lebih banyak pada praktik “prosedural”
            (administratif) yang selama ini dikenal dengan skema redistribusi tanah,
            bukan “redistribusi untuk penataan”, bahkan direduksi menjadi lebih
            sederhana, “legalisasi aset”. Harus diakui dalam praktik redistribusi (uta-
            manya di Jawa), yang terjadi di lapangan lebih banyak penegasan hak
            yang sebelumnya sudah dikuasai masyarakat puluhan tahun, sehingga
            angka-angka redis yang muncul tidak merubah secara signifikan struktur
            penguasaan tanahnya, karena pada dasarnya tanah-tanah itu sudah men-
            jadi bagian dari penghidupan masyarakat untuk membangun ekonomi-
            nya. Cara tersebut tidak banyak membantu mengurangi dan menye-
            lesaikan ketimpangan strukur penguasaan tanah dan konflik agraria yang
            tiap tahun semakin bertambah, bahkan semakin meluas pada semua


              66
   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99