Page 97 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 97
Reforma Agraria: Menyelesaikan Mandat Konstitusi
na & Naggara 2017), Kementerian ATR/BPN masih bertahan tidak mau
membuka secara luas akses ke publik terhadap tanah-tanah skala luas
(HGU) yang menjadi sumber konflik. Persoalan ini menjadi penilaian
tersendiri bagi Kementerian ATR/BPN di mata publik, karena dianggap
tidak memiliki niatan serius membenahi persoalan agraria yang crowded,
padahal prasyarat itu dibutuhkan oleh ATR/BPN untuk menjadi lembaga
yang bertanggung jawab dan kredibel. Pada konteks itu juga kita meyaki-
ni, prasyarat RA bisa berjalan dengan baik jika ATR/BPN membuka diri
dan mau mendengar banyak pihak, terutama terkait objek TORA yang
banyak diusulkan oleh masyarakat dari bawah dengan pendekatan RA
by leverage, RA berbasis lahan-lahan yang sedang bersengketa atau kon-
flik (Soetarto, Sihaloho & Purwandari 2007, Kartika 2018).
Penataan tanah-tanah absentee dan kelebihan maksimum diyakini
banyak pihak akan menimbulkan gejolak sosial politik dan itu dianggap
memiliki resiko yang tinggi. Di sisi lain, sebenarnya negara tidak memiliki
dana untuk mengambil (mengganti) tanah-tanah tersebut, tentu saja mem-
butuhkan anggaran yang cukup besar. Oleh karena itu pilihan kebijakan
yang diagendakan lebih pada pemanfaatan lahan-lahan yang minim resiko.
Kerumitan dan kesulitan itu disadari betul oleh Joko Widodo dan melirik
skema RA dalam berbagai bentuk untuk menjawab atas kebutuhan rakyat
akan tanah. Jokowi mencoba memperluas makna RA dari yang selama ini
dilaksanakan yakni “redis tanah-tanah non hutan dengan skema hak indi-
vidu” tetapi kemudian juga meluaskan ke “tanah-tanah hutan”, khususnya
hutan negara dengan skema Perhutanan Sosial (PS) dalam bentuk izin
pemanfaatan.
B. Model dan Kebijakan Reforma Agraria Jokowi-JK
Narasi dan argumen di atas dibangun berdasarkan realitas sosial
politik dan ekonomi yang terus berkembang di Indonesia. Para pengam-
bil dan pelaksana kebijakan terpojok atas angka-angka yang sering mun-
cul di media tentang timpangnya Indeks Gini penguasaan tanah di Indon-
esia. Sekalipun tidak ada data resmi yang meyakinkan namun indikasi-
indikasi ketimpangan akut itu nyata dan menjadi pemandangan sehari-
hari. Realitas itu “menggerogoti” kewibawaan pemerintah di mata masya-
69