Page 173 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 173
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
sipil pasca peristiwa 1965 (Sulistyo, 2000).
Fakta di lapangan, “Aksi Sepihak” (aksi balasan) telah
terjadi, pengambilan kembali tanah-tanah milik tuan
tanah juga terjadi di banyak daerah. Realitas itu membuat
panitia landreform meminta jaminan kepada pemegang
kekuasaan daerah untuk mengamankannya. Namun di
beberapa daerah tertentu tidak banyak mendapatkan
hasil, terutama wilayah-wilayah yang tingkat konfliknya
cukup tinggi seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bahkan
arus balik ini justru menghasilkan lebih dari apa yang
diredistribusikan panitia landreform sebelumnya, karena
tanah-tanah dan bangunan milik kader-kader PKI, terma-
suk aset-aset organisasi “simpatisan” seperti LEKRA yang
bukan bagian dari objek landreform juga ikut diambil
oleh berbagai pihak, termasuk oknum-oknum tentara
(Susatyo & Aziz, 2009). 7
Masih dalam bulan yang sama, 17 Februari 1966,
Panitia Landreform Pusat (Menteri Agraria Hermanses)
kembali mengeluarkan instruksi No. 10/P.L.P./1966 kepada
Panitia Landreform Tingkat I dan II terkait dengan tanah-
tanah redis landreform yang ditinggalkan oleh pemilik-
7 Salah satu peristiwa penting tentang perampasan tanah dan
bangunan yang cukup terkenal adalah Tjidurian 19, sebuah rumah
komunitas untuk para seniman LEKRA berkumpul dan belajar tentang
seni, sastra, dan kebudayaan. Pada tahun 1966-1990, Tjidurian 19 diam-
bil alih tentara dan djadikan Mess, sembilan keluarga militer menempati
rumah tersebut. kini Tjidurian 19 sudah berpindah tangan beberapa
kali tanpa pernah dikembalikan kepada pemiliknya semula.
137