Page 168 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 168
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
likan kepada kami pemilik tanah”. Dialog ini menjadi
pemahaman umum pada periode tersebut bahwa land-
reform dianggap sebagai program BTI dan PKI, sehingga
ketika peristiwa 1965 terjadi, program tersebut dianggap
bubar dan tanah-tanah yang sudah diambil dan didistri-
busikan kepada petani harus dikembalikan. Situasi terse-
but banyak terjadi dan menyebabkan pemerintah kesu-
litan mengontrol tanah-tanah yang sudah diredistribusi-
kan kepada petani kemudian diambil kembali oleh pemilik
lama. Arus balik pengambilan tanah hasil redistribusi
benar-benar terjadi dan Panitia Landreform di daerah
tidak dapat berbuat sesuatu. Persoalannya, arus balik
pengambilan tanah hasil redistribusi tidak saja terjadi
pada petani penerima yang diduga anggota BTI/PKI tetapi
juga menyasar ke pihak-pihak lain seperti petani miskin
tak berafiliasi, atau petani dari Pertanu (Luthfi, 2018b).
Usaha-usaha bekas tuan tanah telah melakukan pro-
vokasi dan serangan balik untuk menarik kembali redis-
tribusi tanah yang sudah diberikan kepada masyarakat.
Hal itu cukup mengkhawatirkan bagi panitia landreform
karena ada kesalahan pemahaman bahwa muncul ang-
gapan penerima landreform adalah organisasi massa tani,
padahal penerima redistribusi tanah dari proyek land-
reform adalah kaum tani penggarap yang memenuhi syarat
sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No.
224/1961. Atas situasi itu, panitia landreform pusat membe-
rikan beberapa kali Surat Instruksi dengan penekanan yang
tegas kepada panitia landreform di daerah agar tetap menga-
wasi dan menjaga proyek yang sebelumnya sudah berjalan.
132