Page 166 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 166
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
tahun ikut terhenti, walau di beberapa wilayah masih tetap
berjalan, terutama program landreform fase II di luar
Jawa. Panitia agraria di daerah khususnya di Jawa tidak
berani mengerjakan proyek tersebut karena akan dianggap
sebagai antek atau simpatisan BTI dan PKI, dan itu men-
jadi trauma psikologis panjang bagi Panitia Landreform
di kecamatan dan desa. Menurut McAusland, problem
arus balik ini menyebabkan kendala psikologis panjang
yang berakibat pada gagalnya landreform dijalankan seka-
lipun situasi politik Indonesia pasca 1965 sudah mulai kon-
dusif (McAuslan, 1986).
Apa yang terjadi pasca peristiwa 1965 adalah vakum-
nya kegiatan kelembagaan khususnya yang terkait dengan
landreform. Peristiwa kontra revolusi menyebabkan be-
berapa kebijakan untuk segera diambil, terutama menge-
luarkan daftar nama-nama Panitia Landreform baik di
pusat maupun di daerah yang berasal dari wakil orga-
nisasi kiri seperti BTI dan Perta, sebagaimana penjelasan
Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 88/Sepag/1965 tentang
Penghentian untuk Sementara Semua Kegiatan Anggota
Panitia Landreform Pusat/Daerah yang Mewakili BTI dan
Kepmen. Agraria/Ketua Badan Pekerja Panitia Landre-
form Pusat No. Sk. 2/Depag/1965 tentang Pemberhentian
Wakil dari Persatuan Rakyat Tani (Perta) dari Keang-
gataan Badan Pertimbangan dan Pengawasan Pelaksana-
an Landreform Pusat. Dalam pertimbangan keputu-
6
6 Barisan Tani Indonesia (BTI) merupakan organisasi petani yang
berafiliasi kepada PKI dan Persatuan Rakyat Tani (PERTA) berafiliasi
ke Partai Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA).
130