Page 163 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 163
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
raan Landreform No. 5/PLP/1967 yang menyatakan bahwa
perkara-perkara tersebut dapat dilaksanakan oleh penga-
dilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Secara khusus,
Mahkamah Agung menyatakan bahwa wewenang Penga-
dilan Landreform dibatasi antara lain: hanya perkara-
perkara mengenai pengembalian gadai tanah pertanian
yang timbul dalam rangka pelaksanaan peraturan dari UU
No. 56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian saja dan harus menyertakan surat keterangan
Panitia Landreform Daerah yang bersangkutan, sedang-
kan perkara-perkara gadai tanah lainnya menjadi wewe-
nang pengadilan dalam lingkup Pengadilan Umum.
Artinya Mahkamah Agung sejak 1967 telah membatasi
kewenangan Pengadilan Landreform tidak sebagaimana
awal dibentuknya yang mengadili semua perkara terkait
yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan landreform.
Pembatasan itu sebenarnya tidak efektif lagi karena sejak
pasca peristiwa 1965, nyaris tidak ditemukan lagi laporan
penyidangan kasus-kasus landreform dari daerah.
Pada argumen lain juga dijelaskan terkait munculnya
persoalan yang rumit terkait pemakaian tanah bersifat
“liar” dan “penyerobotan”. Dua istilah ini memang banyak
muncul pada periode sebelum 1961-1965. Dalam khasanah
studi landreform, dikenal dengan istilah aksi sepihak yang
melakukan claiming terhadap tanah-tanah milik tuan
tanah atau orang-orang yang dianggap memiliki tanah
kelebihan maksimum dan absentee. Klaim sepihak ini
masif dilakukan di Jawa terutama dilakukan oleh kelom-
pok-kelompok kiri dan organisasi tani berhaluan kiri
127