Page 164 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 164
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
(Meri, 2019; Mustafa, 2020; Padmo, 2001). Terhadap
perkara tersebut, bagaimana cara menentukannya, apakah
pemakaian tanah yang berperkara bersifat “liar” atau
“penyerobotan” atau perkara yang diajukan itu berdasar-
kan sebab-sebab lain, misalnya persengketaan bersumber
pada sah tidaknya jual beli atas tanah yang bersangkutan
termasuk di dalamnya persoalan warisan. Tentu saja untuk
mengetahui apakah pemakaian tanah dianggap “liar” atau
“penyerobotan”, wajib disampaikan oleh yang berkepen-
tingan, agar bisa diketahui lebih jelas. Kasus demikian sebe-
lum 1965 ikut menjadi bagian Pengadilan Landreform.
Berbagai penjelasan persoalan yang muncul dan tafsir
atas wewenang Pengadilan Landreform, pemerintah
bersama DPRGR kemudian melakukan peninjauan ulang
terhadap UU No. 21 Tahun 1964 dan UU No. 6 Tahun 1969.
Dengan berbagai pertimbangan sebagaimana argumen
yang penulis jelaskan di atas, walau terdapat ketidak
konsistenan kemudian pemerintah bersama DPRGR
bersepakat, bahwa Pengadilan Landreform perlu dihapus
dan semua perkara yang termasuk wewenangnya diserah-
kan kepada Pengadilan Umum (Penyuluh Landreform No.
2, 1970). Tentu saja persoalan politis lebih mengemuka
karena peristiwa 1965 memberi background mengapa
Pengadilan Landreform harus dihentikan, karena arus
balik situasi politik tidak berpihak dan sentimen terhadap
isu landreform sangat tinggi. Sisi lain, kebijakan peme-
rintah tidak lagi berfokus pada isu landreform, sehingga
penghapusan pengadilan landreform tidak mengganggu
jalannya politik dan keamanan pemerintahan.
128