Page 175 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 175
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
Dalam instruksi menggambarkan kekhawatiran akan
terjadi secara masif arus balik pengambilalihan tanah-
tanah hasil redistribusi landreform, sehingga panitia
landreform di daerah diminta untuk tetap mengawasi dan
mengamankan hasil-hasil kerja yang sudah dilakukan
sejak 1961-1965. Jikapun tanah-tanah tersebut ditinggal-
kan oleh pemiliknya, maka tanah tersebut harus diserah-
kan kepada istri atau anaknya agar tetap dikerjakan. Kecu-
ali tidak ada ahli warisnya maka harus diambil alih oleh
Panitia Landreform. Hal itu untuk menghindari peram-
pasan tanah-tanah oleh kelompok-kelompok penentang
redistribusi landreform.
Pada tahun-tahun setelah sedikit mereda atas impact
dari peristiwa 1965, pemerintah melakukan upaya sosiali-
sasi secara masif kepada masyarakat terkait berbagai per-
tanyaan yang tentang landreform. Umumnya masyarakat
mempertanyakan dan meyakini jika landreform adalah
program PKI dan BTI, dan pasca peristiwa 1965 sebagian
menganggap landreform tidak ada lagi. Kondisi ini
menyebabkan pemerintah harus terus menjelaskan terkait
kebijakan landreform yang tetap harus dijalankan. Apa-
lagi persoalan pembayaran ganti rugi tanah absentee dan
kelebihan maksimum masih banyak yang belum dibayar-
kan, sehingga aksi balik pengambilan tanah mendapat
pembenaran. Majalah Penyuluh Landreform Tahun VI
edisi Hari Tani September 1967 menggambarkan secara
terbuka situasi pelaksanaan landreform pasca peristiwa
1965 (Januari-Juni 1967). Dalam laporan perkembangan
pelaksanaan landreform disimpulkan:
139