Page 230 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 230
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
besar mengharuskan penataan pertanahan secara tepat.
Dengan pertimbangan kebutuhan tersebut, tata guna
tanah yang kemudian juga berkembang sebagai rencana
tata ruang untuk pembangunan sangat mutlak dijadikan
patokan agar tanah bisa dimanfaatkan secara benar. Sandy
(1973) juga mengembangkan basis-basis penelitian terkait
tanah dengan detail, memperhatikan letak, kemampuan
tanah, penggunaan dan peruntukan, serta pemanfaatan-
nya. Semua hasil survei tersebut disajikan dalam bentuk
peta secara lebih meyakinkan dan menjadi pedoman bagi
lintas kementerian. Salah satu hasil kerja Sandy terkait
land use yang mengangkat isu Yogyakarta dalam hu-
bungannya dengan sosial ekonomi, baik masa lalu mau-
pun sekarang untuk melihat prospek wilayah Yogyakarta
di masa mendatang. Untuk pertama kalinya juga sejauh
temuan penulis, Majalah Penyuluh Landreform dan Ag-
raria memuat peta-peta kajian Sandy (1974b) dalam edisi
N0. 9/1974 (Penyuluh Landreform dan Agraria, No. 9, 1974).
Pada tahun 1978, Menteri Dalam Negeri mengelu-
arkan Permendagri No. 3 Tahun 1978 tentang Fatwa Tata
Guna Tanah. Melalui permen ini fatwa tata guna tanah
menjadi sebuah kewajiban. Dalam Pasal 2 ayat 1 dinyata-
kan, “setiap pemberian hak atas tanah dan pemberian izin
perubahan penggunaan tanah harus disertai dengan
fatwa tata guna tanah”. Artinya, peran land use pada perio-
de tersebut sangat strategis dan memberikan dampak yang
besar bagi keberlangsungan pembangunan. Siapa pun
yang membutuhkan tanah maka harus melewati fatwa
tata guna tanah oleh Dirjen Agraria sesuai tingkatan, dari
194