Page 238 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 238
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
pertanahannya atau hak-hak yang timbul akibat kebijakan
transmigrasi. Dalam Repelita pertama, proyek transmigrasi
sejak 1966 telah dipesankan oleh Ketetapan MPRS dalam
sidang Umum ke-IV tahun 1966 Pasal 31 No. XXIII
memerintahkan kepada Dirjen Agraria dan Transmigrasi
untuk “Memperhebat transmigrasi serta mempercepat
pelaksanaan landreform/land use. Pesan itu menandakan
perintah yang jelas karena kepadatan penduduk Jawa yang
membutuhkan penyelesaian. Argumen tersebut didukung
oleh Sanjoto (1966), selain upaya membangun koperasi,
industri skala kecil, kredit petani dan pupuk dapat mem-
bantu petani penerima lahan redistribusi yang sangat
kecil. Dari semua usaha tersebut, melaksanakan trans-
migrasi secara besar-besaran merupakan solusi. Mem-
berikan tanah baru bagi peserta transmigrasi merupakan
sumber pencaharian bagi kaum tani yang juga berarti
menaikkan produksi bahan-bahan pangan dan mengu-
rangi sengketa tanah di daerah padat dan kritis. Prinsip-
nya, transmigrasi akan mengurangi kepadatan penduduk
di Jawa dan daerah padat lainnya, juga akan meratakan
pemilikan tanah pertanian. Sanjoto menyimpulkan, pelak-
sanaan transmigrasi akan melancarkan pelaksanaan land-
reform fase II terutama di daerah, sebagaimana tahapan
landreform fase II yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara, dan Maluku (Sanjoto, 1966).
Perintah melaksanakan transmigrasi pada tahun 1966
belum cukup memungkinkan untuk dijalankan, terutama
situasi dan kondisi keuangan negara, maka pelaksanaan
transmigrasi masih banyak yang tertunda. Sebenarnya,
202