Page 325 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 325
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
Secara spesif ik de Soto menyebutkan, bahwa aset
(dead capital-tanah extralegal) bagi negara dunia ketiga
jika “digerakkan” (sertifikatnya) maka akan menghidup-
kan ekonomi masyarakat, dan pada gilirannya mampu
meningkatkan kesejahteraan (Soto, 2001). Ide dead capi-
tal-de Soto diterjemahkan oleh Winoto dengan kebijakan
“reforma agraria plus” yang kemudian dikembangkan
menjadi aset reform dan akses reform (Winoto, 2012).
Oleh karena itu, Winoto sebagai Kepala BPN pada periode
sebelum 2012 adalah pimpinan agraria yang paling banyak
melakukan legalisasi tanah di Indonesia dibanding
periode sebelumnya. Sebelumnya, pada 2004, tanah yang
berhasil dilegalisasi hanya sejumlah 269.902 bidang,
begitu Winoto menjadi Kepala BPN, satu tahun kemudian
(2005) legalisasi aset mencapai 2.366.380 bidang, tahun
2006 sejumlah 2.279.217 bidang, tahun 2007 sejumlah
3.879.180, tahun 2008 sejumlah 4.627.039 bidang, mening-
kat drastis dibanding tahun 2004 (Rachman, 2017). Sepan-
jang 2005-2008, Joyo Winoto total berhasil mensertifi-
katkan tanah terbanyak sepanjang sejarah keberadaan
BPN sampai tahun tersebut, total 13.141.816 bidang.
Capaian tersebut dilakukan dengan beberapa skema pen-
daftaran yakni: skema yang diseponsori pemerintah,
skema pembiayaan Bank Dunia, dan skema swadaya ma-
syarakat (Rachman, 2013a).
Setelah periode tersebut, banyak pihak merasakan
manfaat masifnya pelaksanaan legalisasi aset, dan periode
Kementerian ATR/BPN pada tahun 2014-2016 dibawah
pimpinan Ferry Mursyidan Baldan masih menjalankan
289