Page 324 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 324
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
untuk follow the money, sehingga keberadaannya sangat
penting, selain tentu saja sertifikat akan menjamin rasa
aman bagi para pemilik tanah.
Saat PRONA pertama kali dijalankan tahun 1981,
tampaknya Dirjen Agraria tidak terilhami oleh program
legalisasi tanah di wilayah lain, tetapi lebih melihat pe-
luang ke depan kebutuhan akan kejelasan status tanah,
terutama untuk pihak-pihak yang membutuhkan tanah.
Dalam salah satu pertimbangannnya disebutkan, legalisasi
aset secara massal dilakukan untuk memberikan jaminan
kepastian hukum bagi penguasaan dan pemilikan tanah.
Argumen ini merujuk pada kepastian hak atas tanah bagi
siapa pun yang menguasai agar sengketa dan konflik bisa
dihindari, apalagi jika tanah-tanah tersebut dibutuhkan
atau dimanfaatkan untuk kepentingan strategis. Kini sete-
lah puluhan tahun PRONA berjalan kemudian bergeser
menjadi PTSL yang sama dengan konsep legalisasi aset
tahun 1961, pendaftaran tanah dari desa ke desa (leng-
kap). Pemerintah mencoba menempatkan PTSL sebagai
bagian dari skema pertumbuhan ekonomi rakyat dan pa-
sar terbuka. Argumen ini salah satunya diilhami oleh ga-
gasan de Soto sebagaimana sebelumnya pada tahun 2006,
Kepala BPN menempatkan legalisasi aset sebagai bagian
dari skema ekonomi pasar terbuka. Aset yang tidak memi-
liki title (sertifikat) jauh lebih sulit digerakan dan masuk
dalam ekonomi pasar, sehingga gagasan de Soto diyakini
mampu membantu mengurai ekonomi masyarakat jika
aset-aset yang dimiliki bisa bekerja dalam ekonomi pasar
terbuka.
288