Page 320 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 320
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
objek RA dari kawasan hutan maupun non hutan,
sekaligus membentuk kelembagaan RA dengan nama
GTRA. Hemat penulis, hadirnya dua perpres ini meru-
pakan lompatan penting dalam menjalankan kebijakan
RA baik dari kawasan hutan maupun non hutan, seka-
lipun berbagai kendala dan persoalan di lapangan tetap
muncul di sana sini (Salim, Utami, et al., 2021).
Sebagai sebuah produk kebijakan politik, Perpres No.
86/2018 merupakan produk politik yang tidak lepas dari
proses-proses politik dan negosiasi dengan berbagai
sektor. Sejauh mana intervensi kebijakan yang dikeluar-
kan sepanjang memiliki argumentasi yang logik maka
produk tersebut akan diterima oleh masyarakat. Hal itu
terjadi pada perpres tersebut, karena menempatkan RA
dalam definisi dan lingkup yang cukup luas dengan me-
maknai legalisasi aset sebagai bagian dari RA. Selama ini
RA dimaknai sebagai penataan hukum dan penataan
struktur penguasaan atas kepemilikan tanah (Salim,
2020), dengan redistribusi sebagai salah satu program ung-
gulannya. Namun dalam perpres ini, perluasan makna
dilakukan dengan memasukkan legalisasi hak atas tanah
yang bermakna penguatan hak bukan redistribusi juga
menjadi bagian dari RA. Dengan argumen “program stra-
tegis nasional”, legalisasi aset dengan nama Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) masuk sebagai bagian
dari RA. Kenyataan ini mendapat banyak kritikan dari
berbagai pihak, terutama akademisi dan aktif is, akan
tetapi sebagai sebuah produk kebijakan ia tetap berlanjut
dan memiliki argumentasinya, selain didukung penuh
284