Page 317 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 317
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
satu kegiatan prioritasnya adalah penataan penguasaan
dan pemilikan tanah mencakup pelepasan kawasan hutan
yang pada kenyataannya sudah bukan berupa hutan lagi,
seperti wilayah administrasi desa, pemukiman penduduk,
lahan pertanian pangan atau perkebunan rakyat, wilayah
masyarakat hukum adat, areal garapan lain masyarakat
untuk ditetapkan sebagai TORA. Wilayah ini kemudian
menjadi target untuk diredistribusikan kepada rakyat mis-
kin secara bersama atau melalui mekanisme penguatan
hak atas penguasaan dan pengusahaannya oleh desa (Kan-
tor Staf Presiden, 2017).
Pelaksanaan reforma agraria pada pemerintahan Joko
Widodo selain menetapkan target kepemilikan tanah yang
berasal dari TORA, juga memberikan skema lain yaitu per-
hutanan sosial (PS). Untuk TORA seluas 9 juta hektar
didapat dari empat jenis program perolehan hak atas
tanah, yakni: (a) sertifikasi tanah rakyat (PRONA/PTSL)
atau legalisasi aset (3,9 juta hektar), (b) tanah transmigrasi
belum bersertif ikat (0,6 juta hektar), (c) ex-HGU dan
tanah terlantar (0,4 juta hektar), dan (d) pelepasan
kawasan hutan (4,1 juta hektar). Sedangkan perhutanan
sosial dilaksanakan dengan memberikan akses untuk
pengusahaan hutan kepada masyarakat dalam periode
tertentu yang ditargetkan sejumlah 12,7 juta hektar.
Skema di atas akan diwujudkan sebagai bentuk politik
kebijakan pembangunan pemerintahan Joko Widodo
dalam aspek agraria. Berdasarkan Permen ATR/KBPN
Nomor 25 Tahun 2015, untuk memenuhi agenda kelima
Nawacita yaitu “Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia
281