Page 321 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 321
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
oleh pihak-pihak yang akan menjalankan program juga
didukung penuh oleh negara. Oleh karena itu, sebagai
bentuk tanggung jawab atas pemaknaan RA-PTSL, maka
kementerian harus menjalankan landreform plus (Lipton,
2009), yakni penguatan aset (legalisasi) sekaligus pe-
nataan akses atas aset-aset masyarakat. Agenda tersebut
telah diwadahi dalam Perpres No. 86/2018 yang (seharus-
nya) menjadi tanggung jawab GTRA untuk menjalankan-
nya.
Selain RA sebagai program strategis di Kementerian
ATR/BPN, dampak dari akselerasi kelembagaan setelah
menjadi kementerian lebih luas, apalagi penataan ruang
menjadi bagian dari agraria. Sebelumnya, kelembagaan
agraria dan kelembagaan tata ruang berdiri sendiri atau
bagian dari lembaga induk masing-masing. Padahal pro-
duk kebijakan keduanya saling berhubungan yaitu terkait
penguasaan hak atas tanah yang semestinya sesuai dengan
pemanfaatan ruang. Penggabungan dua lembaga ini
seharusnya dapat mempermudah hubungan birokrasi,
sinkronisasi peraturan kebijakan, dan integrasi program
kegiatan, karena berada di bawah kewenangan lembaga
yang sama (Puspasari & Sutaryono, 2017). Kebijakan perta-
nahan dan ruang memegang peran penting terkait hak-
hak masyarakat dalam mewujudkan keadilan dan kesejah-
teraan, untuk itu Kementerian ATR/BPN yang memiliki
unsur pelaksana terkait pengaturan agraria dan ruang
perlu meningkatkan eksistensi dalam menjamin aset dan
hak akses terhadap tanah dan ruang sesuai dengan ha-
rapan yang tertuang dalam Nawacita.
285