Page 329 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 329

Politik Kelembagaan Agraria Indonesia

                          meyakinkan  meneruskan  jalur  yang  sudah  dianggap
                          benar, yakni menjalankan program legalisasi aset. Jika aset
                          sudah tersertifikasi, maka negara tidak perlu terlalu ikut
                          campur tangan dan individu-individu yang memasukkan
                          asetnya atau terlibat aktif di dalam sistem ekonomi pasar
                          terbuka menjadi bagian dari skema pergerakan ekonomi
                          untuk  mengejar  pertumbuhan.  Singkatnya,  jika  aset
                          masyarakat telah terlegalisasi dan kemudian melakukan
                          transaksi secara terbuka di pasar, secara otomatis ekonomi
                          akan bergerak dan pertumbuhan akan dicapai. Keyakinan
                          itu menurut de Soto telah terbukti di  berbagai negara
                          dan hasilnya pergerakan aset sangat signifikan membantu
                          pertumbuhan ekonomi baik mikro maupun makro.
                              Namun demikian, gagasan de Soto juga mendapat
                          banyak kritikan, bahkan penulis juga meyakini apa yang
                          de Soto bayangkan tidak terlalu tepat dalam konteks In-

                          donesia, karena Indonesia adalah negara komunal bahkan
                          kepemilikan tanah juga banyak yang komunal, juga ne-
                          gara yang memiliki trust antar kelompok masyarakat cu-
                          kup tinggi, sehingga, dengan selembar kertas alas hak atas
                          tanah akan laku di pegadaian, perbankan, dan lembaga-
                          lembaga keuangan lainya. Artinya, banyak wilayah di In-
                          donesia, untuk mengakses modal masyarakat tidak perlu
                          menggunakan sertifikat tanah, cukup dengan keterangan
                          atas tanah. Soto juga mendapat kritikan tajam dari Gold-
                          finch (2015) dan Joireman (2008) terkait pandangan le-
                          gal vs extralegal terhadap tanah. Soto dianggap berpan-
                          dangan sempit  dan  terlalu  legalistik-individualistik.
                          Menurut Golfinch, ketiadaan sertifikat hak kepemilikan

                                                                             293
   324   325   326   327   328   329   330   331   332   333   334