Page 60 - Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris
P. 60
Pengantar Penyunting
na transformasi sosial-ekonomi pedesaan ingin kita wujudkan?
Apakah arah transformasi itu kita biarkan saja berjalan secara
alamiah—yang berarti akan mengikuti arus kapitalisme yang
dominan? (Tetapi tanpa didahului dengan penataan struktural,
hal itu justru akan membuat ketimpangan sosial meningkat
kian tajam, dan landasan pembangunan yang kuat tidak akan
terwujud.) Ataukah kita memiliki kerangka normatif tersendiri
mengenai arah transformasi itu?
Secara formal, acuan normatif itu sudah jelas, yaitu Pasal
33 UUD 1945; dan dalam masalah pertanahan, kita mempunyai
UUPA 1960 beserta seperangkat undang-undang dan pera-
turan pelaksanaannya (meskipun masih harus disempurna-
kan). Jika acuan ini yang dijadikan pegangan, maka dalam pan-
dangan GWR arah agrarian transformation kita lebih dekat
dengan jalur neo-populis. Masalahnya adalah sejauh mana ke-
mauan politik untuk mewujudkan hal ini, dan dari sisi akademis
bagaimanakah mengembangkan penelitian yang intensif untuk
dapat menerjemahkan tipe neo-populis itu secara lebih opera-
sional ke dalam kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kenya-
taan di lapangan. Inilah dua di antara sejumlah agenda yang
disodorkan oleh GWR sebagai prasyarat utama bagi pelaksa-
naan reforma agraria yang berhasil.
‘agraris-tradisional’ (atau ‘feudalistik’, atau ‘non-kapitalistik’,
atau ‘natural-economy’) menjadi suatu struktur masyarakat di
mana pertanian tidak lagi bersifat eksklusif melainkan terintegrasi
ke dalam pilar-pilar ekonomi lainnya secara nasional, lebih pro-
duktif, dan kesejahteraan rakyat meningkat”. Menurut GWR, dari
pengalaman berbagai negara, ada tiga jalur atau “tipe” agrarian
transformation, yaitu jalur sosialis, kapitalis, dan neo-populis.
Selengkapnya baca Wiradi (2000).
lix