Page 110 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 110
98 Tri Chandra Aprianto
Tabel 3
Perbandingan nilai ekspor tanaman perkebunan 1928 s/d 1940
(dalam juta gulden) 14
Tahun Karet Gula Minyak Kopi Tembakau Jumlah ekspor
1928 281 376 150 81 96 1.577
1930 173 254 190 36 59 1.157
1932 34 99 99 35 47 541
1934 89 46 100 23 37 487
1936 88 34 98 16 38 538
1938 135 45 164 14 39 658
1940 332 53 175 8 38 882
Dari angka statistik di atas menunjukkan penurunan yang
signiikan ber tanaman perkebunan sejak krisis berlangsung.
Krisis ekonomi yang diterima oleh perusahaan perkebunan juga
berimbas kepada kehidupan masyarakat perkebunan. Pendapatan
masyarakat perkebunan menurun drastis. Penurunan pendapatan
tersebut dapat juga dilihat dari upah yang diterima buruh perkebunan
yang mengalami penurunan. Hal itu bisa dilihat secara nyata pada
industri perkebunan gula di Jawa, dimana pada tahun 1929 masih
mampu membayar buruh-buruhnya sebesar 102 juta gulden. Angka
tersebut mengalami penurunan pada tahun 1934 hanya sebesar
9.714.000 gulden. Penurunan pembayaran upah buruh juga terjadi
di tanaman perkebunan lainnya seperti teh, tembakau dan karet.
Kehidupan masyarakat perkebunan pada tahun-tahun ini berada
pada tingkat sebagai petani yang hanya memenuhi kebutuhan
pakannya saja. Situasi yang demikian parah tersebut digambarkan
oleh masyarakat sebagai zaman meleset, 15 sebuah sindiran untuk
zaman melaise. Hal ini dikarenakan masyarakat perkebunan yang
berada pada struktur bawah menerima dampak y
14 William O’Malley, ‘Indonesian in the Great Depresion: Study of East
Sumatra and Jogjakarta in the 1930s,’ Ph.D Disertasi (tidak diterbitkan),
Cornell University, 1977, hlm. 23.
15 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan, hlm. 123.